Ramadan di Banjaran*


[M]umpung masih awal shaum, mari kita bernostalgila ke zaman masih unyu, ketika harga bala-bala masih Rp100 dan ukurannya cukup besar. Siapa tahu saya bisa nulis banyak, sehingga bisa menandingi buku kuncen Bandung, alm. Haryoto Kunto: Ramadhan di Priangan 😀

Menerawang ke masa silam memang kadang selalu menyenangkan, apalagi ke masa kanak-kanak ketika kita hidup seolah tanpa beban. Masih unyu pula. Banyak pula pengalaman yang mengasyikan yang tidak bisa tidak kita lupakan, termasuk ketika bulan puasa alias shaum alias bulan Ramadan.

Salah satu kebiasaan waktu kecil sesudah sahur adalah shalat Subuh di masjid. Iya dong, sebagai anak yang baik hati dan berbakti, sudah sewajibnya shalat berjamaah di masjid. Apalagi jaraknya dekat, nggak lebih dari 50 meter. *pencitraan*

Tentu saja setelah shalat, kami tidak langsung pulang untuk tidur. Energi kami kelewat banyak kalau hanya digunakan untuk tidur :D. Nah biasanya, setelah shalat, kami yang sepantaran sering berkumpul di halaman madrasah yang masih satu kompleks dengan masjid. Ada satu permainan yang sangat sering dimainkan. Apa itu? Perang.

Ya, peperangan alias dar-daran. Untuk bermain dar-daran, anak-anak dibagi dalam dua kelompok. Yang satu bertugas berlari dan nyumput alias sembunyi, kelompk yang satunya bertugas mencari kelompok pertama ini. Ya, mirip-mirip dengan permainan ucing sumput lah.

Nah, kalau ternyata kita melihat kelompok lawan, segeralah teriak “Dar X!” dengan X nama si target. Sesederhana itu permainannya. Tidak ada senjata apapun yang digunakan dalam permainan ini, selain mulut tentunya :D. Tapi tetap saja menarik, karena kita diharuskan mengenal karakteristik fisik lawan main kita. Apalagi ini dimainkan ketika masih subuh, masih gelap, sehingga tantangannya menjadi lebih besar.. eaaaa..

Permainan ini berakhir biasanya ketika semua lawan sudah diketahui dan “ditembak” sama kita. Bisa jad permainannya berakhir cepat, tapi bisa jadi nggak selesai-selesai, misalnya karena ada pemain yang malah pulang ke rumah dan tidur :)).

Setelah hari agak siang, biasanya permainan ini dihentikan. Selain sudah terang, capek juga harus lari-lari terus, bisa-bisa entar batal :D. Kalau sudah begini, biasanya kami kembali ke halaman madrasah dan bermain di sana. Sekadar tidur-tiduran di teras masjid atau main yang lain.

Sayangnya, saya perhatikan permainan ini lama-lama hilang. Sudah jarang saya lihat anak-anak seusia SD bermain lari-larian sepanjang habis subuh. Kalau nggak pulang ke rumah untuk tidur, mereka main game. Entah itu di PC atau di rental PS/warnet.

Zaman sudah berubah sepertinya.

*judul sengaja nyontek dari salah satu bukunya alm. Haryoto kunto 😀 (kan udah ditulis di atas yak hehe)


0 responses to “Ramadan di Banjaran*”

  1. Heuheuhe abdi abdi bade ngantunkeun komen *eh kenapa jadi keterusan nyunda ini teh…
    perang-perangan juga menjadi salah satu permainan yang selalu dilakukan waktu kecil, dulu semasa Ramadhan saya ngabuburit main “simar”, ngumpulin biji asem, sirsak sama saga heuheu. asik pokoknya.
    Sekarang mah anak-anak mainannya udah warnyet… bahkan ucing-ucingan juga udah jarang sekarang.

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.