Paman. Buku


JIKA ada yang harus disalahkan terhadap kebiasaan saya baca dan (pinjam) buku, maka salah satu tersangkanya adalah paman saya yang seorang kutu buku. Kami biasa memanggilnya Mang Ace.

Dia punya banyak koleksi buku. Mungkin jumlahnya ribuan, dengan beragam genre. Kebanyakan karya sastra, baik itu buku tentang kritik sastra novel, kumpulan cerpen, dll. Ada juga buku keagamaan, tapi jumlahnya tak terlalu banyak. Sebagian berbahasa Indonesia, sebagian besar bahasa Sunda, dan hanya sedikit bukut berbahasa Inggris. Tak hanya bku, koleksi kliping koran pun banyak.

Ada enaknya punya paman yang kutu buku, apalagi buku yang disukainya hampir sama. Kita bisa leluasa pinjam buku ketika ingin baca. Atau minimal baca di rumahnya yang tak jauh dari rumah ibu saya.

Tak hanya bisa bebas pinjam kapan saja (selama diizinkan, tentu saja :D), tak jarang saya ditraktir buku. Salah dua buku yang pernah dibelikan buat saya adalah buku cerita ketika saya masih bocah.

Saya lupa apa judul kedua buku yang dikasih ke saya, yang pasti buku bersampul warna hijau dan oranye itu berisi cerita-cerita dongeng di kawasan Asia. Buku itu ditulis dalam bahasa Sunda.

Salah satu cerita yang masih saya ingat adalah tentang kisah perkelahian antara kadal dengan harimau. Tentu saja, sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Ya, si kadal yang cerdik.

Buku cerita itu dibeli ketika saya diajak Mang Ace main ke kota. Saya lupa saat itu kami mengunjungi tempat apa saja, yang pasti buku itu dibeli di kios buku loak di kawasan Cikapundung. Di sana, saat itu, banyak lapak yang menjajakan buku bekas, yang kalau kita cukup sabar, bisa menemukan harta karun.

Ah, ya, paman saya memang cukup gigih berburu buku-buku bekas di sejumlah kios pasar buku loak, terutama buku mengenai sastra Sunda, yang menjadi topik penelitiannya selama ini. Koleksi buku lamanya pun cukup lengkap, salah satunya buku George Orwell, 1984, terbitan tahun 1954. Saya pikir ini sudah menjadi buku langka. Buku tersebut hingga kini masih saya pinjam karena belum sempat dibaca sampai tamat :|.

Selain beli di lapak buku bekas, paman saya pun cukup rajin beli buku di Palasari. Salah satu kios langganannya adalah Ampera. Di sana memang banyak buku yang jarang ditemukan di kios lain. Harganya pun cukup murah. Saya pun belakangan mulai rajin beli buku di kios itu, meski tahunya agak telat, baru setahun belakangan :|.

***

Waktu nenek saya belum pindah rumah dan Mang Ace masih bujangan dan jadi guru di daerah Tangerang, sebagian koleksi bukunya disimpan di lemari TV di rumah nenek. Laci bagian bawah berisi tumpukan buku dan koleksi majalah berbahasa Sunda, Mangle (guru saya mengejanya dengan ‘Menjel’). Sementara di bagian atas berisi kliping sejumlah koran.

Saat itu saya masih SMP kelas 2 dan kebagian masuk siang. Sembari menunggu waktu berangkat sekolah, kadang saya suka main ke rumah nenek saya yang jaraknya cuma terhalang dua rumah. Dan ketika sedang iseng, saya suka buka-buka laci lemari tempat koleksi harta karun paman saya itu.

Biasanya yang dicari cuma majalah mangle. Sejak dulu, saya suka Mangle, terutama rubrik barakatak dan cerita lucunya :D. Kadang-kadang suka baca cerpennya, karena banyak cerpen bagus yang dimuat. Paman saya cukup rajin membundel majalah itu menjadi per tahun, sehingga lebih mudah bagi saya untuk baca-baca.

Tapi suatu hari, saya menemukan harta karun lain di antara tumpukan buku dan koleksi majalah. Saya menemukan buku cerita berbahasa Indonesia, yakni serial Nick Carter! Dan saya pun melahap buku seukuran majalah Intisari itu, meski masih remaja :D.

Bagi yang tak tahu siapa Nick Carter, silakan googling sendiri buku itu bergenre apa, yang pasti dia bukan personel Backstreet Boys :D.

***

2003. Saya sudah jadi mahasiswa matematika. Tapi buku bacaan saya malah lebih banyak buku sastra :D. Salah satu buku bacaan waktu itu adalah Tetralogi Buru karya Pramoedya. Buku yang awalnya saya sepelekan karena prolognya yang tak meyakinkan. Apalagi kalau lihat sampul bukunya yang sudah kucel (saya baca buku versi cetakan lama).

Tapi setelah saya baca, semuanya berubah. Saya jadi ketagihan buku Pram. Semua Tetralogi saya babat habis. Juga beberapa buku Pram lainnya. Kebetulan, paman saya memang mengoleksi hampir semua buku Pram. Juga buku mengenai Pram. Juga buku-buku lain dengan genre mirip, seperti karya Tolstoy (nggak tamat saya baca), Mas marco, Sobron Aidit, dll.

Berkat buku Pramlah, saya sempat menggunakan nama Minke sebagai nickname di internet :))(untungnya segera diganti setelah merasa sangat tak layak menyandingkan nama besar Minke dengan saya. Siapalah saya…)

***

Waktu masih kuliah di ITB, saya seringkali bercanda mengajak paman saya untuk paheula-heula lulus. Saat itu, ketika saya melanjutkan kuliah di STEI, paman saya lanjut Master di UPI.

Saat saya banyak mengalami kesulitan menghadapi tema tesis yang sering berubah, paman saya pun dihadapkan pada masalah dengan tesisnya. Juga masalah teknis, saat itu keyboard laptopnya rusak sehingga nggak bisa dipakai ngetik. Sempat beli keyboard biasa, tapi ternyata tetap sulit. Akhirnya terpaksa paman saya beli laptop baru, setelah sekian lama berusaha bertahan dengan laptop Axioo miliknya.

Tapi perlombaan tesis itu dimenangkan oleh saya. Saya lulus duluan. Dan tentu saja wisuda duluan. Tepatnya April 2013.

Seperti orang kampung lainnya, saat wisuda saya nggak hanya mengajak orangtua, tapi juga keluarga besar, termasuk Mang Ace, ke Sabuga. Dia memang sangat semangat melihat keponakan-keponakannya kuliah dan bisa lulus. Dan wisuda merupakan perayaan yang harus dirayakan.

Sementara Mang Ace lulus wisuda pada Desember lalu. Seperti biasa, saya pun semangat ikut datang ke wisudaannya di UPI. Sekalian menengok kampus, kebetulan ada teman yang juga wisuda.

***

6 Juli, Mang Ace mengirim pesan ke akun fesbuk saya. Tak biasanya. Ternyata dia mempertanyakan apa pilihan saya di pilpres nanti. Dengan bercanda saya hanya jawab nggak bakal milih Prabowo. Saya mau pilih nomor dua saja. Atau pilih keduanya alias golput.

Nggak disangka ternyata pesan saya dibalas lagi, dan kali ini lebih serius. Saya yang memang nggak suka dengan sosok Prabowo mencoba membantah argumennya. Hingga beberapa kali debat. Tapi, karena merasa bersalah, saya hanya bisa mengiyakan apa yang ditulisnya. Pesan terakhir tanggal 7 Juli, dan sengaja nggak saya balas karena takutnya paman saya tambah marah.

***

Senin, 21 Juli 2014. Seharusnya saya masuk kerja, karena libur lebaran baru dimulai Jumat 25 Juli. Tapi di pesantren ada rapat guru. Karena ingin ikut rapat, akhirnya saya pilih izin nggak masuk kantor, dan memilih buka bareng di sekolah.

Di rapat itu, ternyata saya masih kebagian ngajar kelas X dan XI. Tapi bedanya, jumlah kelas X bertambah jadi 3 kelas, dan pakai kurikulum 2013. Duh.

Habis rapat yang dilanjutkan buka bareng, saya ngobrol dengan paman saya. Mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang gara-gara pilpres. Sambil duduk di teras, saya menanyakan tentang istilah-istilah teknis komputer dalam bahasa Sunda. Saya memang membutuhkan daftar istilah komputer berbahasa sunda untuk kepentingan penerjemahan Mozilla.

Kata paman saya, kebetulan proyek itu sudah ada yang mengerjakan, tapi memang belum beres. Saya pun minta supaya dikasih daftarnya jika sudah beres, sehingga saya bisa ikut menerjemahkan Mozilla ke dalam bahasa Sunda. Mang Ace nggak mengiyakan, tapi berusaha mencarikannya. Saya lega. Ternyata dia nggak marah sama saya :D. Dan yang lebih penting, saya bisa dapatkan dokumen itu.

***

Rabu sore. Di kantor. Saya baru ngedit 2 berita. Ngantuk. Di luar hujan. Dan lapar. Sedang asyik internetan, Mang Aang menelepon saya. Sayangnya nggak sempat saya angkat karena ponsel saya memang selalu di-silent. Mang Aang nelepon lagi, kali ini diangkat, tapi nggak ada jawaban di seberang sana.

Takut ada apa-apa, saya telepon balik. Kali ini suaranya jelas. Saya disuruh pergi ke RS Bungsu, Jalan Veteran. Segera. Ada musibah menimpa Mang Ace. Tapi beritanya belum jelas, sehingga saya harus memastikan kabar buruk itu.

Sesaat saya nggak percaya. Apalagi suara di seberang sana tampak biasa saja. Untuk sesat saya masih sempat melanjutkan ngedit berita yang belum beres diedit. Tapi perasaan nggak enak. Maka setelah sedikit googling cari lokasi RS Bungsu, saya minta izin ke Teh Reni untuk pulang lebih awal. Memastikan kabar buruk itu.

Setengah jam kemudian, di ruang gawat darurat, berita itu ternyata benar. Mang Ace sudah terbujur kaku di ruangan UGD. tertutup kain putih. Kulitnya sudah membiru. Badannya sudah dingin. Di rumah sakit, sudah ada Bi Pipih, istrinya, bersama Arbi si bungsu. Juga ada A Andri, A mareng, A Irvan, dan A Iman yang sudah lebih dulu datang.

Paman meninggal ketika belanja di Yogya Kepatihan. Kemungkinan karena penyakit jantung.

***

Saya merasa bersalah. Bukan hanya karena saya sering membuatnya repot karena seringkali susah mengembalikan buku pinjaman, juga karena saya belum sempat minta maaf. Meski sempat ngobrol di pesantren, saya belum sempat minta maaf atas ulah keras kepala saya sebelum pemilu lalu. Juga karena beberapa kali permintaan beliau untuk instal ulang laptopnya nggak saya laksanakan.

Tapi semuanya sudah lewat. Saya cuma bisa sampaikan maaf lewat doa. Selamat jalan mang… Jasamu abadi. Semoga saya bisa melanjutkan perjuangan dan cita-citamu…


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.