(Tak sampai) Tersesat di Tangkuban parahu


Kawah Gunung Tangkuban Perahu merupakan salah satu objek wisata yang ada di kawasan Bandung Utara. Biasanya setiap hari libur kawasan wisata ini dipadati pengunjung, baik dari Bandung atau luar daerah. Kata Wikipedia sih jarak dari Kota Bandung ke kawah sekitar 20 km dan mempunyai ketinggian sekitar 2084 m. Lumayan tinggi.

kawah tangkuban parahu
kawah tangkuban parahu

Ada banyak cara untuk sampai ke sana. Bagi yang datang dari Kota Bandung bisa lewat Lembang, misalnya naik angkot Jurusan Stasion Lembang. Kalau naik dari Terminal Ledeng, bayar ongkosnya Rp4000. Dari terminal Lembang biasanya ada mobil omprengan yang menuju ke kawah. Ongkosnya kalau nggak salah (katanya sih) sekitar Rp20.000,- tapi kalau kita jago nawar bisa turun sampai lima ribu. Itu kalau naik kendaraan umum. Kalau naik kendaraan pribadi? Tentunya lebih mudah lagi.

Tapi ada cara yang lebih seru dan menantang untuk menikmati gunung ini. Yaitu lewat Jayagiri. Kalau lewat Jayagiri tentunya harus jalan kaki alias hiking. Atau bagi yang punya adrenalin lebih bisa coba naik motor ke gunung. Dijamin bakal lebih menantang. Itulah yang saya lakukan sama kawan-kawan akhir Januari kemarin.

Ceritanya sekitar pertengahan Januari seorang kawan mengajak saya hiking ke Tangkuban Parahu. Untuk menghilangkan stres katanya. Saya yang seumur-umur belum pernah lihat kawah Tangkuban Parahu tentu saja ingin ikut. Padahal hampir ima tahun saya bolak balik ke kaki gunungnya, daerah Setiabudhi. Dan belum pernah sekalipun ke puncaknya. Apalagi ini sambil hiking. Artinya nggak harus bayar tiket untuk masuk kawah 🙂

Maka singkat cerita, hari minggu (25/1) jam enam saya sudah siap-siap berangkat dari rumah. Saya harus nyubuh sebab katanya jam tujuh harus sudah berangkat. Juga karena harus menjemput salah seorang kawan di daerah Rajawali. Dia nggak akan bawa motor, khawatir pulangnya nggak kuat bawa motor.

Jam tujuh saya sudah sampai di kosan, di daerah Gegerkalong. Tapi kok sepi? Apa mereka sudah berangkat? Ternyata belum. Malah belum pada datang. Di kosan cuma ada dua makhluk yang masih tiduran dalam satu kasur. Sialan, padahal saya sudah nyubuh dari rumah. Tahu bakal telatmah saya nggak akan mandi jam 5. Dingin. ?Galih pulang dulu,? kata Kibro. Juga Cepi yang mondok di kosan. Sementara orang Bekasi dan orang Banten juga belum datang. Ternyata Dwi masih di jalan, sedang sarapan. Sementara Yusuf belum ada kabarnya.

Jam setengah sembilan. Di kosan sudah ada Dwi, Galih, Yusuf, Afdor, Dian, Cepi dan Kibro. Tinggal nunggu satu orang lagi. Di mana Ara? Padahal satu jam lalu dia katanya sudah ada di KPAD. Apa dia nggak jadi?

Hampir jam sembilan. Akhirnya orang yang ditunggu datang juga. Kami pun siap-siap berangkat. Tapi hanya delapan orang saja yang ikut. Kibro nggak ikut, ada kerjaan katanya. Berdelapan kami berangkat ke termina Ledeng. Dari sana kami naik angkot jurusan Lembang.

Sebetulnya kita bisa saja langsung jaan kaki dari UPI, seperti waktu PAB di Sukawana dulu. Tapi demi mengefektifkan waktu (ini sudah siang) kami mending naik angkot, nanti turun di Jayagiri Lembang. Di daerah Jayagiri kami turun. Ongkosnya Rp3000. Para supir angkot sudah tahu kalau kita mau hiking pasti diturunkan di daerah itu. Jadi bagi yang mau coba, jangan khawatir tersesat.

Setelah turun, dimulailah petualangan kami. Sekitar satu kilometer ada pos masuk ke kawasan Jayagiri. Di sini kita harus bayar karcis, sebesar Rp3000. Untuk asuransi jika terjadi apa-apa katanya. Ternyata daerah Jayagiri sering digunakan untuk perang. Seperti hari itu banyak orang yang pakai seragam a la militer dengan persenjataan lengkap. TNI AD kah? Atau tentara Israel yang tersesat? Tentu bukan. Mereka hanya pehobi yang suka perang-perangan. Mungkin paintball.

karcis jayagiri
karcis jayagiri

Hiking di Jayagiri ternyata sudah ada jalurnya, mengikuti jalur pipa air. Jadi tidak perlu khawatir tersesat, selama mengikuti jalur ini. Dan berdoalah agar jalur yang dipilih tidak terlalu sulit (karena katanya ada jalur yang susah dilewati). Setelah berjalan sekitar satu jam kurang -diselingi istirahat beberapa kali- nanti jalur ini akan berakhir di sebuah warung. Walau kecil, disini lumayan lengkap, setidaknya untuk membeli perbekalan untuk hiking nanti. “Alfamart,” seloroh Dwi.

Dari keterangan pemilik warung, ada beberapa jalur hiking ke puncak. Ada yang lewat tower, ada yang tidak. Kalau mau lewat tower, dari warung kita harus ke sebelah kiri. Sementara kalau mau cepat, lewati saja jalan yang ada, katanya. Karena hari sudah siang -sudah jam sebelas- kami lanjutkan perjalanan tidak lewat tower. Takut kelamaan. Apalagi ini sudah siang. Sebelum berangkat beberapa kawan beli air minum. Saya beli Aqua. Harganya Rp3000.

warung "alfamart"

Saya nggak tahu tower apa yang dimaksud pemilik warung. Tower BTS kah? Entahlah.

Hampir jam dua belas. Kami masih belum sampai. Masih jauh. Jalanan masih mendatar. Artinya kami masih di kaki gunung. Karena belum masuk daerah hutan, pepohonan tidak terlalu tinggi. Karena itu sinar matahari terasa terik. Setelah sekitar setengah jam perjalanan kami tiba di sebuah warung kecil lagi. Di sana ada beberapa orang. Mereka sepertinya sudah kemping. Ternyata salah satu dari mereka kami kenali. Dia anak matematika 2004. Sayang saya lupa namanya. Setelah basa-basi sebentar, kami lanjutkan perjalanan. Sebelumnya kami sempatkan foto-foto dulu, karena ternyata pemandangannya menakjubkan. Dari sini terlihat kota Bandung yang tertutup asap polusi.

kerenbangget

Di kejauhan terdengar orang saling teriak. Seperti yang marah-marah. Ternyata ada yang sedang ospek. Saya nggak tahu siapa mereka dan dari mana. Sang senior sepertinya asyik menunjukkan superiotitas mereka pada juniornya. Sementara juniornya terlihat seperti yang ketakutan. Ternyata masih laku kaderisasi seperti ini. Menyedihkan.

Kami terus berjalan. Masih mengikuti jalur yang sudah ada. Tapi bukan jalur pipa lagi. Ternyata jalur ini suka dipakai motocross. Hari minggu banyak orang yang berolahraga dengan motornya ke gunung ini ternyata. Pada salah seorang dari mereka, Galih tanya lagi arah ke kawah. Katanya bisa lewat kanan juga ke kiri. Tinggal ikuti jalur saja.

Karena sepertinya kedua jalur yang disebutkan memutar, Kami pilih jalur pintas, lewat ke tengah, walau jalur ini sepertinya jarang dilalui manusia. Awalnya jalur yang dipilih sepertinya benar, karena masih mengikuti arah para pengendara motor dan ada bekas telapak kaki. Tapi semakin lama kok semakin jauh ya? Apalagi suara motor perlahan tidak terdengar lagi.

Semakin dalam ilalang semakin tinggi. Saya yakin jalur ini sangat jarang dilalui manusia, karena sangat sedikit jejak manusia di sana. Apalagi dengan kenyataan pepohonan sedemikian rapat. Bikin gatal-gatal. Beberapa tampak ragu melanjutkan perjalanan.

“Mending balik lagi Ra,” kata Yusuf.

Beberapa saat kami diam. Haruskah terus lewat jalan ini? “Ambil resiko,” kata Galih.Artinya terus saja. Walau ilalang semakin tinggi, walau jalur semakin sulit, kami tetap melanjutkan perjalanan, apalagi di kejauhan terdengar lagi suara motor. Artinya kita sudah di jalur yang benar. Benarkah?

Akhirnya kami temukan juga jalur motocross. Artinya kami sudah menemukan jalan kembali. Selamatlah kami. Sudah sampai? Belum. Kita belum mendaki gunung, baru sampai lereng. Kami baru tiba di pintu masuk hutan gunung Tangkuban Parahu. Masuklah kami ke sana. Perjalanan pun dimulai.

Hampir jam setengah satu. Kami semua belum Shalat. Mau shalat di mana? Kami mulai masuk jalur hutan di gunung Tangkuban Parahu. Pepohonan tinggi menjulang. Hawa dingin mulai terasa. Apalagi sinar matahari tidak bisa masuk ke sini. Lembap. Untung hari masih cerah.

Di dalam hutan ternyata banyak jalur yang bercabang. Karena merasa kawah ada di sebelah kanan, kami ikuti jalur yang di sebelah kanan. Apalagi jalur ini lumayan besar dan seperti yang sering dilalui manusia. Juga banyak sampah. Itu tandanya orang suka lewat ke sana.

Semakin dalam, jalur semakin terjal. Juga semakin sulit. Hawa semakin dingin. Melihat jalur yang sangat sulit ini, kami sempat berpikir mungkin kami salah jalur lagi. Apalagi semakin sedikit jejak manusia. Apakah kami tersesat di sini? Beberapa jalur sangat curam, sampai susah dilewati.

Apa kami tersesat? Jangan-jangan ini bukan jalur ke kawah, tapi ke Burangrang? Sudah beberapa kali kami istirahat. Persediaan air pun sudah sangat menipis. Tapi puncak gunung masih belum terlihat juga. Jalan semakin terjal. Apa kami harus kembali? Rasanya sayang. Ini sudah lebih dari setengah perjalanan. Tak mungkin untuk kembali.

Hawar-hawar, dari kejauhan terdengar suara gemerisik. Seperti suara orang. Ternyata ada orang! Mereka pengendara motocross yang sedang turun gunung. Gila, padahal ini jalur yang sangat sulit, terjal. Untuk jalan saja sudah sangat sulit. Apalagi ini dengan motor. Benar-benar nekat mereka. Pada mereka kami tanya jalur ke kawah.

“Ya tinggal ikuti jalur ini saja. Kalau sudah mentok belok kiri,” kata salah seorang dari mereka.

“Kalian mau ke Sukawana kan?” tanya mereka.

“Bukan pak, mau ke kawah,” jawab kami.

“O kalau itu ikuti nanti kalau mentok jalan ikuti saja bibir kawah, nanti sampai ke sana,” kata yang lainnya.

Lega juga. Ternyata kami masih di jalur yang benar. Karena sudah yakin jalur yang dipilih benar, kami istirahat di sini. Cepi buka perbekalannya. Ia bawa ketan bakar. Enak juga. Apalagi ini sudah siang. Sudah waktunya makan.

Walaupun jalan di depan masih terasa terjal dan sulit, kami optimistis bisa sampai ke kawah. Apalagi tadi sebelum berangkat ada lagi yang lewat, pakai motor. Artinya ini jalur manusia. Saya dan Yusuf di depan. Sementara yang lain masih di belakang, tanpa suara. Tak ada lagi tawa. Semua sudah lelah. Ingin segera sampai. Apalagi hari mulai mendung, sesekali hujan turun. Gerimis.

Akhirnya mentok juga jalan ini. Artinya kawah sudah dekat. Jalur sudah tidak menanjak. Kami sudah di puncak tertinggi. Tinggal mencari jalan ke kawah. Tadi, kata pengendara motor, kalau mau ke kawah kita tinggal ikuti bibir kawah. Karena jalur ke kiri itu ke Sukawana, artinya jalur yang ke kanan itu pasti ke kawah. Smabil menunggu yang lain saya dan Yusuf mengamati jalan. Ternyata tidak nanjak. Di beberapa pohon ada tanda panah warna biru, arahnya ke kanan. Tanda apa itu? Saya nggak tahu. Sementara di depan terlihat kawah Tangkuban parahu, walau tertutup pohon. Dari layar HP tertulis Cikole. Artinya ini daerah Cikole, Lembang.

Setelah semua sampai di pertigaan jalan, kami berdiskusi jalur mana yang akan dipilih. Yusuf yakin kita ambil ke kanan, karena kalau ke kiri pasti balik lagi, ke Sukawana. Cuma sebagian tidak setuju, karena tadi si bapak tidak bilang ke kanan. Suasana sedikit panas.

“Kita ke kiri saja dulu, kita cari tower. Dari sana kita mudah kalau mau ke kawah,” katanya.

“Mending ke kanan, kan kita mau ke kawah. Tadi kan kalau ke kiri ke Sukawana,” kata yang lain.

“Tapi kan mereka nggak bilang kalau ke kawah itu ke kanan?”

Iya juga. Perasaan tadi si bapak tidak bilang ke kanan, tapi cuma ngomong ikuti bibir kawah. Masalahnya, ke kanan atu ke kiri? Akhirnya setelah sedikit bersitegang diputuskan untuk dicoba dulu jalur ke kiri, ke tower.

Saya Ara, dan Dian di depan. Langkah kami dipercepat. Kami ingin cepat sampai, karena hari sudah sore, juga hujan. Jalan tidak terlalu menanjak. Hanya saja becek. Makum musim hujan. Di kanan jalan ada beberapa patok dari kayu. Juga tanda panah warna biru yang menunjukkan ke arah sebaliknya. Sementara di atas ada kabel listrik. Entah dari mana ke mana. Yang pasti di sekitar sini ada kehidupan.

Sudah dua puluh menitan kami berjalan. Tapi belum sampai ke kawah juga ya? Tapi berhubung saya belum pernah menginjakkan kaki di sini, saya nggak bertanya. Toh Ara, Galih dan Dwi sudah pernah hiking ke sini. Di belakang tiba-tiba Dwi teriak-teriak. Ia yang pernah ke sini heran, ko lama sekali jalannya? Padahal katanya kalau sudah sampai puncak, perjalanan nggak akan selama ini. Kami pun berhenti. Suasana tegang kembali. Dwi sepertinya yakin ini salah jalan. Kita tersesat lagi, untuk ke sekian kalinya. Kami pun berdiskusi lagi. Jalan mana yang mau diambil? Sementara hawa semakin dingin karena hujan rintik perlahan turun. Di layar HP tertulis Jalan Cagak. Lho ini kan daerah Subang?

Akhirnya disepakati Galih akan coba dulu jalan ke kiri, untuk memastian jalan. Sementara kami bertujuh menunggu. Ternyata menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Baru lima menit Galih pergi, tapi terasa lama. Apalagi hujan turun. Sementara perbekalan hampir habis. Akhirnya kami hanya bengong.

Karena lama menunggu Galih, akhirnya disepakati untuk balik lagi. Kami akan ambil jalan ke kanan. Sementara Ara akan nyusul Galih dulu. Walau sudah sangat lelah, kami terus berjalan, ke kanan, ikuti tanda panah warna biru. Dan ternyata, tidak jauh dari pertigaan yang tadi, di depan ada bangunan cukup besar yang dikelilingi tembok tinggi. Dari plang yang ada di sana, tertulis gedung pengamatan petir ITB. Di dalamnya ada tower yang cukup tinggi. Ini kah tower yang dimaksud tadi?

Kami semua gembira. Ternyata kami hampir tiba! Ini jalur yang benar. Di sebelah gedung ini ternyata ada warung kecil. Jongko mungkin tepatnya, karena hanya berupa meja yang diisi makanan dan minuman ringan. Sambil nungu Galih dan Ara, kami beristirahat di warung ini.

Penjaganya bapak-bapak. Katanya beliau orang Lembang, Setiap hari jualan di sini. Dari Lembang bapak ini selalu jalan kaki. Dari penjaga warung inilah saya baru tahu arti tanda panah warna biru itu. Katanya, tanda itu sebagai petunjuk bagi orang yang hiking. Sengaja pakai cat, karena kalau pakai kayu biasanya suka ada yang iseng. Masih menurut si bapak, pernah ada orang yang tersesat, sampai balik lagi ke warung, padahal ia ikuti petunjuk jalan. Ternyata ada yang mengubah arah petunjuk jalan itu. Karena itulah sekarang petunjuk jalan pakai cat, supaya nggak ada tangan-tangan jahil.

Rame juga ngobrol sama bapak ini. Mungkin beliau jarang ada teman ngobrol, sehingga akalau ada orang yang singgah di warungnya, pasti diajak ngobrol. Tapi berhubung hari sudah semakin senja, dan Galih dan Ara sudah datang, kami pun melanjutkan sisa perjalanan. Kali ini suasananya tidak lagi mendung. Walau capek, walau jalur yang ditempuh masih terjal, masih ada banyak tawa. Masih ceria.

Akhirnya tibalah kami di kawah yang kesohor ini. Pemandangannya benar-benar menakjubkan. Sambil menunggu yang lain, kami sempatkan foto-foto dulu. Untung kawah masih belum tertutup kabut. Indahnya….

Tapi kami belum sampai ke tempat wisata. Kami baru sampai di bibir kawah. Kami masih di gunung. Masih ada sekitar 200 meter lagi. Maka tak heran kalau daerah ini masih sepi. Dan dari kejauhan terlihat kerumunan orang. Juga tenda-tenda biru, yang menjajakan minuman hangat.

Dan tibalah kami di sini, di kawasan wisata Kawah Tangkuban Parahu. Ini sudah jam tiga. Sudah Ashar. Padahal Kami belum Sholat Dzuhur. Maka setelah berfoto-foto sebentar kami bergegas ke mesjid. Sementara Galih sama Ara masih asyik berdua. Mereka tidak ikut ke mesjid. Setelah shalat, hujan turun semakin deras. Saya sedikit kecewa, karena belum puas menikmati kawah. Apalagi belum ke kawah Domas, yang jaraknya sekitar 1,2 km dari sini. Tapi cuaca tak mau kompromi.

Akhirnya kami berenam hanya berdiri di pos, di atas pos polisi wisata. Galih dan Ara? Sampai saat ini belum ada kabar. Apalagi di sini nggak ada sinyal. Sialnya hp Galih batereinya habis, jadi nggak bisa dihubungi. Sementara ngehubungi ara juga nggak nyambung. Hujan semakin deras. Semakin dingin saja.

Karena di atas semakin dingin, dan belum ada kabar dari dua orang yang hilang, kami turun saja sambil mencari mereka. Semoga saja di bawah kami bisa ketemu. Tapi sudah berkeliling masih belum ketemu juga sama mereka. Karena lapar, terpaksa perbekalan terakhir, nasi dan kawan-kawan yang dimasak Dian kami buka saja, tanpa menunggu mereka. Walau nasi sudah dingin dan keras kami menikmati makanan ini. Apalagi perut sudah keroncongan. Kami makan di pinggir warung yang sudah tutup. Ini sudah sore, jam setengah lima. Pantas saja mereka sudah pada tutup. Apalagi hujan belum juga reda.

Setelah makan kami kembali ke masjid. Semoga saja mereka ada di sana. Tapi sayang, mereka nggak nongol juga. Hampir jam lima. Belum ada kabar juga. Hujan semakin membesar. Udara semakin dingin. Menggigil. Beberapa kios mulai pada tutup. Haruskah kami menunggu lama? Lalu kami putuskan jika sampai jam lima mereka belum ada kabar juga, kami akan tinggalkan mereka. Walau berat, saya setuju saja. Tapi, rasanya nggak enak. Kami berdelapan ke sini dari kampus. Masa pulangnya cuma berenam? Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah sore, sementara hujan belum reda juga. Bahkan sesekali membesar.

Maka ketika jam menunjukkan pukul lima, kami sepakat pulang. Mau bagaimana lagi? Di perjalanan ke jalan besar, Dwi kebelet ingin ke wc. Sambil menunggu Dwi balik lagi, kami eruskan perjalanan. Karena belum ada mobil, kami berteduh di sebuah kios yang sudah tutup. Dwi belum balik juga. Apa dia mau ikut-ikutan tersesat juga? Untungnya tidak. Selagi menunggu Dwi, ada mobil omprengan menghampiri kami, menawarkan jasa, ongkosnya Rp20.000. Mobilnya masih kosong. Setelah adu tawar, akhirnya disepakati harganya menjadi Rp15.000. Lumayan turun lima ribu. Kami pun naik mobil ini.

Di perjalanan, ternyata ke hp ada sms. Dari 081622. Ada yang telpon. Ternyata dari Ara. Sama Dian ditelpon balik. Kata Ara dia sudah ada di kosan katanya. Jadi dia meninggalkan kami? Tapi nggak jelas juga, karena hp keburu mati. Saya lupa, pulsa tinggal 1500 perak, dan dian nelpon ke 3, jadi mahal.

Kami turun di terminal Lembang. Dari sini kami naik angkot Ciroyom Lembang. Ternyata jalan Lembang macet total. Untung kami lewat jalan alternatif, ke jalan Sersan Bajuri, jadi macetnya nggak terlalu parah. Sekitar jam setengah delapan akhirnya kami tiba juga di jalan Sersan Bajuri. Akhirnya,….

Halah ternyata panjang juga ceritanya.


0 responses to “(Tak sampai) Tersesat di Tangkuban parahu”

  1. keren brow,,,,
    tapi mana poto2 kita waktu d kawah..

    trus yg punya ide hiking sapa sech???
    keren juga tuch ide
    ngilangin stres dengan hiking

    patut dtiru…

    two thumbs up bwat ceritanya
    ^-^

    ================
    kan aya tulisannyah, “pertengahan Januari seorang kawan mengajak saya hiking ke Tangkuban Parahu. Untuk menghilangkan stres katanya.”
    hehe pis…

    yan foto2nya simpen di flickr ata picasa dong, meg batur bisa ningali hehe.. maklum sim sayah mah kekurangan benwit yeuh,,

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.