Tuntutlah Ilmu Sampai ke Belanda


SEBUAH hadits (yang katanya belakangan ini ditengarai dhaif) menyatakan, tuntutlah ilmu walau sampai ke Cina. Atau Tiongkok menurut istilah koran Jawa Pos. Tentu artinya bukan saklek menuntut ilmu harus ke negeri tirai bambu itu. Walau nggak haram juga. Artinya, jangan hanya belajar di negeri sendiri saja, apalagi cuma di Bandung hehe. Cobalah tembus dunia, seperti kata guru Ikal di Sang Pemimpi.

Maka, banyaklah manusia Indonesia yang terbang berseliweran ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Seperti teman saya yang sudah hampir 2 tahun di negerinya Shinosuke dan Doraemon. Dan masih ngulik soal angka dan rumus 🙂 Juga teman saya yang akhir tahun lalu juga menapaki jejak sang kawan. Tapi nggak tahu diterima atau nggak. Semoga saja diterima. Pinter pisan gituloh..

Ada juga yang menapaki jejak pak Andrea Hirata, ke jantung ilmu pengetahuan, dan juga kiblat sepakbola:eropah. Kemarin, teman seangkatan saya itu baru tiba di negeri kumpeni. Utrecht tepatnya, menapaki sang kakak tingkat yang sudah lebih dulu lulus dari sana. Saya tahu itu dari status di fesbuknya yang katanya kepeleset waktu jalan di jalan bersalju. Selamat ceu..

Tapi tulisan ini bukan menceritakan teman saya yang kebetulan ceritanya sama, sekolah lagi. Ini hanya sedikit review dari orang yang yang sok jadi kritikus. Tentang novel yang baru dibeli setelah berkeliling di Palasari dan tidak menemukannya malah menemukan di Gramedia Merdeka, dan saya baca habis buku itu waktu libur Senin kemarin yang sedemikian sehingga saya bisa hiatus dari yang namanya gadget komputer selama 24 jam karena penasaran tentang isi novel ini. Yasud, dimulailah. Judulnya, Negeri van Oranje.

Once upon a time, alkisah, ada sekelompok mahasiswa Indonesia yang terjebak di sebuah tempat bernama Amersoft karena badai yang katanya lebih kejam dari Katrina. Persahabatan mereka dimulai dengan badai dan rokok kretek. Suatu perpaduan yang aneh. Mereka adalah Banjar, Wicak, Geri, Daus dan Lintang, satu-satunya wanita dalam kelompok itu. Maka, terbentuklah sebuah geng yang bernama seperti aktor hero made in japan, Aagaban. Dan cerita pun dimulai dari sana.

Halaman demi halaman diisi dengan pengalaman kelimanya menjadi seorang pelajar di negeri orang negeri yang dulu menjajah negerinya selama ratusan tahun. Mulai dari pengalaman sepele (tapi penting!) seperti cara belanja sampai masalah besar, seperti menyelesaikan thesis. Seperti halnya novel lain, agar menarik tentunya dibumbui dengan cerita cinta sebagai kerangka utamanya. Dan bagi yang belum baca reviewnya, kemungkinan besar bisa terkejut dengan akhir cerita cinta mereka.

Tentunya nggak asik dong novel setebal +-471 halaman itu hanya menceritakan konflik percintaan di antara mereka berlima. Harus ada dong cerita tambahan supaya pembaca bisa stay tune sampai membaca halaman terakhir. Dalam novel ini pun banyak diselipkan cerita-cerita lainnya. Seperti kisah menjadi tour guide mahasiswa pejabat yang angkuh (dan ditinggalkan begitu saja di jantung kota Amsterdam), pertanyaan mau jadi apa mereka setelah lulus, diskusi sama pejabat Indonesia yang katanya sedang studi banding (padahal lagi pelesir ke eropah!), sampai cerita menarik seperti dalam buku Edensor: Backpacking keliling eropah! Cerita-cerita ini -kata saya yang sedang jadi sok kritikus- lumayan membantu cerita utama.

Cuma ada beberapa cerita yang saya rasa terlalu dipaksakan, seperti cerita cari kosan buat mahasiswa baru. Terlalu jauh dari cerita utama meski memang penting jika buku ini bakal dijadikan panduan buat yang mau ke holland sana.

Menariknya, di novel ini pun banyak bertebaran berbagai tips dan trik cara bertahan di luar negeri, termasuk cara belajar gila yang baik hehe (Dan ternyata sebagian tips itu sudah ada loh di blognya salah seorang penulis!). Jadi, buku ini memang bisa menjadi buku panduan kalau mau kuliah di negeri orang tanpa seperti menggurui. Terutama bagi yang akan ke Belanda. Oiya, buku ini pun katanya banyak menginspirasi pembaca untuk nerusin kuliahnya, terutama ke luar negeri (semoga termasuk saya hehe).

Hanya saja, di dalam buku ini, ada beberapa tulisan atau ejaan yang salah tulis. Typo kata orang yang suka chatting. Tapi sangat sedikit kok. Dari sekitar 471 halaman itu, sependek ingatan saya, hanya ada 5 kesalahan penulisan. Jadi bisa diabaikan lah. Toh tak mengurangi esensi cerita. (Beginilah nasib seorang yang setiap hari ngaraut tulisan, jadi suka terganjal sama kesalahan ketik, meski secuil hehe..)

Ya sudah, karena sudah banyak juga yang meresensi buku ini, saya tak panjang-panjang lagi bercerita. Cukup sekian dan terimakasih. Jangan lupa beli bukunya, jangan cuma pinjam. Karena hanya orang bodoh yang bakal meminjamkan bukunya (meski hanya orang gila yang bakal mengembalikan buku pinjamannya 🙂)


0 responses to “Tuntutlah Ilmu Sampai ke Belanda”

  1. Gak penting sih sama topiknya. Salah ejaan/cetak itu memang typo dalam bahasa Inggris, bukan menurut orang yg suka chatting.

    ================
    oh kitu? hehe maklum takbisa bahasalinggis 😀

  2. hhmmm..ternyata bela diri untuk tidak menjadi orang pelit…
    kurang panjang ah resensinya..
    kudunya ditulis ulang satu buku..

    =============
    wew… sok atuh bade nambut? berani bayar berapah? hihihi

  3. hadoooooo,,ini ka hadi alumni math 03 bukan sehh?? binun dech!! mukanya mirip met

    ===============
    bukan om hehe… alumni mathnya bener, angkatan bener, tapi bukan di ui. dan bukan hadi 😀

  4. ngomong2 belanja eh belanda …
    jadi pengen ke Groningen T_T

    ==========

    wew gaya nih yang udah ke groningen,,, 😀

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.