Cerita Dyah Pitaloka


BUKAN. Ini bukan cerita tentang anggota dewan asal PDIP itu. Walau namanya (hampir) sama dan sama-sama urang Sunda, cerita ini bukan tentang dia. Ini cerita tentang putri mahkota Kerajaan Sunda. Tapi bukan kisah kematiannya di saat perang Bubat. Ini cerita jauh sebelum peristiwa memilukan itu terjadi.

Ya, novel ini bercerita tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri kesayangan Linghabuwana, raja kerajaan Sunda. Novel ini menceritakan tentang perjalanan hidup Pitaloka saat berguru di lereng gunung Pangrango, berguru kepada Candrabhaga, seorang maha guru yang sempat diusir dari Kawali karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Juga karena kerajaan takut murid-murid Candrabhaga bisa meruntuhkan kewibawaan Linghabuwana.

Awalnya saya kurang minat baca buku novel ini. Bukan karena ceritanya tidak menarik. Tapi saya kurang suka novel silat. terlalu gimana gitu. Saya lebih suka yang lebih membumi, lebih realistis hehe..

Tapi saya penasaran dengan novel ini, karena tokoh utamanya Pitaloka, atau murid-murid Candrabhaga lebih mengenal dengan nama Sannaha. Apalagi katanya cerita ini mendasarkan kisahnya pada sejarah Sunda ratusan tahun lalu, sebelum peristiwa perang Bubat yang terkenal itu. Makanya, saya babat habis buku ini.

Tapi hipotesis awal saya mengenai buku ini terlalu meleset sepertinya. Meski saya kurang suka novel sisilatan, tapi buku karangan Tasaro ini sangat memikat, meski saya nggak bisa membayangkan kedahsyatan kilatan pedang Sannaha atau pun para penjahatnya, Elang Merah alias Purandara, Kuda Putih, Merak Hitam ataupun Harimau Emas. Juga, meski bahasanya enak dibaca, saya pun tak bisa membayangkan kehebatan Yaksapurusa dengan pedang beracunnya saat bertarung melawan Sannaha di tepi Sungai Taruma.

Lalu ceritanya tentang apa? Sebelumnya, apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama Dyah Pitaloka Citraresmi? Dalam novel ini, ternyata Pitaloka itu tak seperti bayangan sebagian besar orang, yang hanyamenggambarkan tokoh ini sebagai perempuan cantik jelita yang melakukan belapati alias bunuh diri ketika perang Bubat berlangsung. Apa sesederhana itu?

Memang sih dia cantik, masa putri raja jelek hehe. Tapi yang tak banyak diketahui orang, ternyata (dalam buku ini) meski umurnya masih belia, Pitaloka memiliki kemampuan ilmu Kanuragan yang mumpuni, bahkan mampu menguasai jurus pedang tanpa nama dengan sempurna, mengalahkan sang gurunya sendiri, Candrabhaga. Apakah ini sesuai dengan fakta sejarah? Saya nggak tahu. Mungkin benar, tapi mungkin saja ini hanya imajinasi pengarang saja.

Cerita berawal tentang kekhawatiran Linghabuwana akan padepokan yang pernah dihancurkannya lima tahun lampau itu. Karena itulah, ia minta Pitaloka -yang pernah berguru pada Candrabhaga selama empat tahun- untuk meminta kepada Candrabhaga agar segera menghentikan aktivitas padepokannya. Jujur saja, Linghabuwana khawatir padepokan itu bisa menghancurkan kerajaannya di kemudian hari. Selain itu, dia khawatir akan ajaran sastra dan filsafat yang diajarkan Candrabhaga kepada sebagian muridnya itu. Sebuah ajaran yang mengajarkan satu Tuhan dengan sembahyangnya yang asing bagi penduduk Sunda waktu itu.

Namun masalah tak sesederhana itu. Kelompok Yaksapurusa pun -yang juga dimusuhi oleh kerajaan Sunda- mengincar padepokan tersebut, karena ingin menguasai jurus pedang tanpa nama yang sangat melegenda itu.

Masalah semakin rumit, ketika diketahui anak buah Yaksapurusa sudah menyusup ke padepokan Candrabhaga. Dan ini semakin membuat pusing Candrabhaga, Pitaloka dan juga Harakalpa, anak Candrabhaga. Apalagi setelah ada peristiwa pembunuhan 5 murid pemula dan 3 murid utama Candrabhaga.

Terus? Ya sudahlah, bagi yang penasaran, baca saja novel Tasaro yang berjudul Pitaloka: Cahaya. Kalu pun tidak, ya terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini.


0 responses to “Cerita Dyah Pitaloka”

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.