SUASANA pentas tampak gelap. Dua lampu menyorot seseorang yang ada di tengah panggung. Bertopeng. Telanjang dada. Terperangkap dalam sebuah kerangkeng. Di pinggir pentas, bendera merah putih tampak terkulai. Tercabik-cabik.
“Apa yang kau cari, wahai Palupi?” teriak orang bertopeng itu.
Itulah sepenggal adegan teater yang berjudul “Gilagugila” dan dimainkan adik-adik kelas saya. Mereka masih SMA. Bahkan, kata guru saya -yang juga pembina dan pencipta naskah Gilagugila- mereka sebagian besar baru kelas satu. Naskah tersebut dimainkan oleh Teater Kumis SSKB, sebuah ekstrakulikuler bidang seni di SMA saya.
Naskah ini bisa dibilang menjadi salah satu naskah yang sering dimainkan. Namun tetap saja ketika saya nonton teater ini, suasananya masih sama. Mencekam. Padahal naskah ini sudah lumayan lama, mungkin lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika pertama dimainkan oleh angkatan 7, kalau nggak salah.
Meski produk lama, namun isi naskah ini masih terasa aktual. Ketika menonton kemarin, saya rasa temanya masih tetap mengena dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih belum bisa membebaskan diri dari karut marut masalah. Cerita tentang Indonesia yang serba bermasalah. Mulai dari kekerasan ras, korupsi, hingga markus-maskus (Ini yang diupdate sama guru saya, agar tetap aktual mungkin). Padahal, naskah ini dibuat ketika ramai-ramai reformasi dan kerusuhan yang banyak terjadi di negeri ini, seperti di Maluku, Poso dan Ambon.
Melihat kesibukan para kru dan pemain saat persiapan pentas Minggu (9/5) kemarin , saya jadi teringat beberapa tahun lalu, ketika saya terlibat aktif dalam pementasan teater yang berjudul sama itu. Memang sih, saya nggak ikut main, hanya sebagai kru tukang riweuh di belakang layar. Mengurus musik dan setting panggung. Juga pencahayaan. Namun, setiap latihan, saya dan teman-teman yang nggak main tetap wajib ikutan latihan. Supaya tahu blockingnya. Juga musik yang bakal diisi nanti.
Biasanya kami latihan setelah sekolah selesai. Itu artinya sekitar jam 5 sore. Kadang latihan sampai malam. Apalagi ketika sudah mau pementasan, pasti latihannya suka lembur. Selain dilatih sama guru pembina, sering kami dilatih oleh alumni yang sebagian aktif di teater kampus. Malah ada yang kuliah di STSI. Kadang bosen juga kalau latihan terus tiap hari, tapi dinikmati saja. Apalagi teman-teman saya yang ikut teater semuanya pada gila hehe… (Bahkan sampai sekarang.. doh!)
Jadi pengen latihan teater lagi hehehe…
“Indonesia tanah tumpah darahku… Indonesia tanah tumpah darahku… Darahku tumpah di Indonesia”
0 responses to “Gila Lagu Gila”
Wah, ikutan teater ya? Seru ya bisa ikutan teater. Kepingin banget ikut, tapi sayang di kampus IT, mana ada UKM Teater. Hiks.
_________________
Itu di SMA mbak.. waktu kuliah mah saya ga masuk teater hehe…
keduax!!!
____________
weh si agan….. siap gan lah mangga keduaxxx 😆
Huaaaa teater?
Seumur hidup saya baru sekali nonton teater, di balai pemuda Surabaya… 😀
_____________________
ane juga udah jarang nonton om… hehe
ga papa gan jadi kru tukang riweuh di belakang layar. yang penting, STYLEnya harus wuokehhehh
ikutan gilaaa hahaha
saya salut sama orang teater, mereka bisa ekspresiin diri mereka dan mereka tahu diri mereka itu seperti apa..
___________
o gitu ya? hehe
wahhh keren ya acaranya..
dulu pernah coba2 ikutan teater.. ternyata sulit banget ya… akhirnya aq mundur.. 😀
salut ^_^
belum pernah nonton teather… 🙁
dulu jga saya pengen banget ikutan teater, modal mati malu udh ada, modal gila udh ada cuma modal acting aja yg ga punya hehehehe…
mantab kang
entahlah saya sampai skrg belum bisa mendapat jiwa dari sebuah pagelaran teater, padahal suka nonton.