Berbelit-belit


TIGA hari terakhir, saya kembali ke lapangan, karena teman saya yang biasa meliput kebetulan sedang sakit dan tidak bisa masuk. Akhirnya, meski malamnya nggak tidur, terpaksa saya turun lagi. Tapi bukan itu yang jadi masalah, karena saya senang-senang saja bisa kembali liputan. Bisa sambil main dan jalan-jalan .

Yang jadi masalah adalah, saya harus kembali berurusan dengan yang namanya birokrasi yang berbelit-belit. Berbeda dengan atasannya yang biasanya ramah ketika mau diwawancara, para staf atau bawahan biasanya sangat sulit dimintai keterangan, bahkan hanya sekadar menanyakan siapa yang harus saya temui, di mana orangnya, atau berapa nomor teleponnya.

Yang pertama, ketika saya sedang mencari narasumber untuk rubrik kesehatan. Maka, datanglah saya ke salah satu lembaga yang berkompeten. Setelah masuk, saya ketemu dengan ibu-ibu muda yang menjadi resepsionis. Setelah tahu bahwa saya mau wawancara, tiba-tiba saja keadaan jadi serba tidak mudah. Kebetulan, sang kepala lembaga sedang ada kegiatan di luar kantor. ketika saya minta nomornya supaya bisa langsung dihubungi, si ibu itu langsung mengelak, dan melemparkan permintaan saya ke petugas lainnya.

Si bapak petugas yang sedang asyik nonton TV itu menjawab dengan diplomatis. Katanya, dia nggak bisa memberikan nomor si bapak pimpinan karena takut dimarahi. Padahal, jelas si bapak pimpinan yang ternyata baik hati dan tidak sombong itu dengan mudahnya membagikan nomor telepon ketika saya berhasil menemuinya.

Kejadian berurusan dengan birokrasi kembali dialami Jumat (15/10/2010). Siang hari setelah makan jumatan lalu makan bakso, saya mendatangi sebuah kantor dinas di daerah Soekarno Hatta. Niat saya ingin mewawancarai bapak kepala dinas. Sayangnya, si bapak ternyata sedang tidak ada di tempat, maka lari lah saya ke ruang Humas, sesuai petunjuk bapak resepsionis yang sedang berjaga di depan kantor.

Di ruangan humas, ada tiga orang staf. Yang satu sedang baca koran, yang satu makan siang, yang satu lagi sedang duduk. Si ibu yangs edang duduk lalu menanyakan maksud saya. “Saya mau wawancara ibu humas bu, apa ada?” tanya saya ke si ibu itu.

Sayangnya, ternyata ibu humas sedang ada kegiatan di luar kantor. Menurut dia, acara ibu humas sampai sore, sehingga nggak bakal bisa diwawancara. karena saya butuh pernyataan ibu humas, saya minta nomor telepon ibu humas. Si bapak yang sedang makan menyarankan si ibu untuk memberikan nomor teleponnya, karena itu sudah biasa. Tapi si ibu seperti linglung, dia jadi nggak mau diam, cari-cari barang yang sebenarnya nggak ada.

Lalu, dengan lugu dia mengaku nggak tahu nomor si ibu. Sial, masa sih seorang staf tak punya nomor HP atasannya? “Soalnya si ibu pake nomor anaknya,” elak dia. Karena nggak mau ribut lagi, saya nggak minta nomor anaknya si ibu humas itu. Karena sudah pasti bakalan sulit. Maka saya pun keluar ruangan humas tanpa bawa apa-apa. Sedihnya.
*Pernah ditulis di sini


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.