16 Agustus 1995


Seharusnya tulisan ini ditulis pada malam kemerdekaan, demi menyambut hari raya kemerdekaan RI ke 67. Tapi berhubung koneksi semarpren tiba-tiba hancur menjelang lebaran, akhirnya baru ditulis hari ini. Mumpung koneksi di kampus cukup kencang untuk sekadar download film Thailand *eh.

Kenapa harus tahun 1995? Ada apa dengan tahun itu? Saya ngga tahu juga, selewat saja, yang terpikirkan adalah tahun itu. Tahun 1995, artinya saya baru naik kelas ke kelas 5, saat itu Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke 50. Tahun emas katanya. Wakil presidennya Tri Sutrisno yang gagah perkasa dan terasa masih sangat muda jika dibandingkan dengan presidennya yang masih itu-itu juga.

Karena tahun emas, maka perayaan pun katanya diusahakan semeriah mungkin. Apalagi saat itu Indonesia belum terkena krisis, masih ada 2 tahun lagi sebelum negeri ini porak poranda karena krismon. (Hampir) semua warga negara sukacita menyambut kemerdekaan yang ke 50 ini.

Dan perayaan kemerdekaan memang benar-benar meriah. Setidaknya menurut saya. Di kampung, sudah sejak jauh-jauh hari sudah ada berbagai perlombaan, salah satunya sepakbola. Saya ikutan jadi pemain, kalau tidak salah mainnya di lapang dekat sungai. “Di lebak,” begitu kata orang-orang menyebut lapangan yang sekarang sudah tertutup benteng itu.

Semakin mendekati tanggal 17, nuansa perayaan kemerdekaan semakin meriah saja. Puncaknya pada malam 16 Agustus, semua mulut gang dihiasi dengan gapura berbagai macam desain. Semuanya dilengkapi dengan lampu kelap-kelip. Kalau nggak salah, waktu itu memang ada lomba menghias gapura gang, sehingga nggak heran jika semuanya ikut meramaikan.

Bersama beberapa teman sekelas, kami berkeliling melihat-lihat gapura itu. Mulai dari daerah paling atas sampai di bawah. Semuanya menarik, meriah. Warna-warni. Kerlap-kerlip. Semua tampak merasakan betul kemerdekaan sesungguhnya. Mungkin.

Malam semakin larut, orang-orang semakin ramai di pinggir jalan. Apalagi bakal ada pawai obor. Maka, malam itu semakin meriah saja.

Besoknya, sejak pagi orang-orang sudah mulai kembali berkerumun di mulut gang. Biasanya, dari warga ‘tonggoh’ suka ada pawai dengan beragam kendaraan unik. Ada yang menyerupai tank, para pejuang, ada juga ondel-ondel. Di sela-sela pawai, terkadang ada atraksi yang semakin menambah daya tarik pawai ini. Pawai tersebut biasanya dimulai dari halaman kantor desa, dan berakhir di alun-alun kecamatan. Di alun-alun, mereka ikut upacara kemerdekaan.

Lalu seperti biasa, siangnya dimeriahkan dengan berbagai macam lomba khas agustusan, mulai dari balap karung, adu bantal, tarik tambang, hingga panjat pinang yang terkadang baru selesai saat magrib tiba. Sehari itu, semua warga tampak bersukacita menyaksikan berbagai perlombaan. Sementara anak-anak antusias mengikuti berbagai lomba itu. Kecuali saya, yang nggak pernah ikutan lomba-lomba itu. Cukup jadi komentator dan penonton saja :D.

Waktu berputar. 17 tahun kemudian. Malam 16 Agustus 2012. Sepanjang jalan Bandung-Banjaran, nggak ada nuansa penyambutan kemerdekaan yang menonjol. Cukup sejumlah umbul-umbul usang dan bendera merah putih di sebagian tempat, terutama gedung pemerintahan. Lainnya? Saya lihat nggak ada. Sepanjang jalan dari Kiaracondong menuju rumah, saya hanya melihat sekelompok kecil anak muda yang berpawai lilin di sekitar Pameungpeuk. Tak banyak jumlahnya, mungkin kurang dari 20 orang. Selain itu, nggak ada lagi.

Saya nggak tahu, apakah sepinya perayaan kemerdekaan tahun ini karena sangat berdekatan dengan Lebaran, sehingga orang-orang emilih untuk berdesakkan di mal daripada merayakan kemerdekaan, atau memang masyarakat sudah kurang merasakan kemerdekaan seperti dulu. Seperti zaman eyang Soeharto ketika harga-harga masih sangat murah dan banyak lowongan pekerjaan.

Apapun itu, selamat untuk Indonesia. Dirgahayu. Semoga segera merdeka dari kemiskinan dan korupsi. Juga pembodohan. Caw!


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.