Suatu siang di Jalan ABC dan sekitarnya


TAHU Jalan ABC? Tentu saja ini bukan merek kecap yang terkenal itu, ataupun lembaga risetnya jilbab hitam yang mengguncang jagad maya itu. Ini adalah salah satu jalan (kecil) di kota Bandung yang entah namanya cuma ABC saja, sementara di sebelahnya tidak ada jalan DEF atau alfabet lain.

Lalu ada apa di Jalan yang hanya tiga huruf dan artinya tidak jelas itu? Tentu saja, tuan, ada orang ketika siang dan gelap ketika malam. Jalan searah sedemikian sehingga tuan harus masuk lewat Jalan Otista supaya mudah. Tapi kalau tuan suka jalan kaki, lewat jalan mana pun -sepanjang terhubung- tentu mudah saja.

Seperti jalan-jalan lain di Kota berjuluk Kota Kembang itu, tuan bisa temukan banyak toko elektronik. Juga ada Bank BCA dan ATMnya di seberang gedung. Mau TV? Ada. Mau rice cooker? Tentu ada. Mau remote TV? Ada juga. Mau kipas angin? Saya sarankan tak usah beli di sana, mending beli punya saya saja, tuan, hadiah dari kantor yang tak sempat dirakit karena rumahnya ada di gunung.

Tapi saya ke sana bukan untuk beli barang elektronik. Butuh sih, tapi apa daya keuangan tak memungkinkan.

Jadi mau apa? Yap, betul tuan. Saya ke sana mencari frame kacamata yang bagus dan murah. Meski harus beli yang kawe karena beli yang asli itu mahal tuan.

Ya, selain banyak toko elektronik, tuan dapat jumpai banyak tukang kacamata di sepanjang jalan ini (dan jalan-jalan di sekitarnya). Ada yang di toko dengan tampilan mentereng (tapi tetap jual barang kawe juga), sampai pedagang yang jualan di emperan jalan yang sempit dan hanya satu arah itu.

Tuan bebas mau beli yang di toko (dengan risiko mungkin ta bisa ditawar meski barangnya sama), atau beli ke pedagang kaki lima yang kakinya cuma dua.

Saya? Kebetulan kali ini saya ingin coba beli di toko. Bukan untuk bergaya, tapi karena saya tiba-tiba masuk ke toko optik dan melihat perempuan unyu yang menjadi staf si bapak luvita jaya menawar frame yang ternyata harganya mahal karena asli.

Maka entah kekuatan dari mana tiba-tiba saja saya yang sedang kekurangan uang karena sedang akhir bulan itu mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah bergambar bapak proklamator kita (dan besoknya lima lembar uang berwarna biru karena ternyata masih kurang).

Tapi tulisan yang sudah panjang itu bukan ingin menceritakan saya yang kini punya dua kacamata dengan lensa baru dan tentu dengan ukuran baru yani minus lima koma lima dan silinder nol koma sekian. Suer, bukan itu.

Ini tentang percakapan dua orang laki-laki yang sedang memeriksa kacamatanya. Orang pertama, pemilik optik di Gg. Suniaraja yang entah namanya siapa. Orang Sunda asli dan suka memancing. Tentu bukan suka memancing keributan seperti pengacara yang mau ngajak tinju itu.

Nah orang keduanya tentu saja bukan saya, karena saya di sana hanya sebagai orang ketiga. Dia adalah seorang laki-laki agak tua tapi belum tua dan pasti sudah tidak muda. Separuh baya mungkin istilahnya. Berkumis dengan badan tipis. Profesi: (awalnya) pedagang kaki lima yang berkaki dua di kawasan Alun-alun Bandung.

Jadi begini tuan. Sebagai orang Kota Bandung (atau orang yang hampir menghabiskan waktu di Kota Bandung, seperti saya), tuan pasti tahu bahwa wali kota baru Bandung yang keren dan kacamatanya mirip dengan punya saya itu punya mimpi besar, menjadikan Bandung Juara.

Salah satunya ya itu tadi, membereskan masalah pedagang kaki lima yang kakinya dua yang banyak berseliweran dan *dianggap* mengganggu keindahan kota.

Maka sesuai peraturan yang sudah ada sejak zaman orde dada rosada yeah, bahwa tujuh kawasan di Kota Bandung harus bebas dari pedagang kaki lima yang kakinya dua. Tentu maksudnya bukan membuat mereka bebas berjualan, tapi justru mereka harus angkat kaki dari tujuh kawasan itu.

Salah satunya di kawasan Alun-alun, termasuk di Jalan Kepatihan. Itu loh, yang di pinggirnya ada mal yang sudah ada sejak saya masih kecil, mal yang merupakan raja mal di Bandung karena namanya King.

Bagi tuan yang sering jalan-jalan ke Parisj van Java sejak lama, tentu harusnya sudah tahu bagaimana semrawutnya lalu lintas kendaraan dan orang di kawasan itu. Ya, padat. Merayap. Dan, oh, tentu saja dipenuhi para pedagang kaki lima yang kakinya dua di kedua sisi jalan yang sempit itu.

Tapi coba tuan jalan-jalan lagi ke kawasan itu. Dijamin tuan akan pangling karena banyak perubahan di sana. Jalannya tetap sempit, tapi kini kios pedagang itu berubah wujud menjadi pot tanaman superbesar. Dan, lengang, tentu saja.

Loh, lalu ke mana para pedagang itu? Mereka (harusnya) pindah ke Gedebage, lokasi nun (agak cukup) jauh di daerah timur sana. Dekat dengan Stadion Gelora Bandung Lautan Asmara Api dan (kalau jadi) lokasi pembangkit listrik tenaga sampah.

Harusnya iya. Kenyataanya tidak (semua), tuan. Salah satunya si bapak orang seberang berkumis itu. Kepada bapak berambut tipis pemilik optik, bapak itu pun bercerita dan berkeluh kesah dengan keadaannya sekarang.

Dia berkata bahwa sekarang tak bisa lagi mengais rezeki dari pusat kota yang memang sangat ramai di siang dan sore hari itu. Juga teman-temannya, dan teman dari teman-temannya. “Mereka kini cuma duduk-duduk saja di sana,” ujar bapak berkumis itu sambil menyerahkan kacamata miliknya.

Bapak berambut tipis itu pun memberi saran untuk mengikuti anjuran pak wali untuk pindah jualan ke Gedebage nun (agak cukup) jauh di sana.

“Tapi siapa yang mau beli ke sana? Jauh. Susah angkot,” begitu kira-kira jawaban bapak berkumis itu.

Seolah tak mau memupus harapan, bapak berambut tipis dan punya pegawai unyu berkacamata itu pun menyarankan untuk ganti usaha. “Misalnya jualan apa gitu dari Bandung ke Medan atau sebaliknya,” kata dia.

Dan bapak berkumis tipis itu pun menjawab dengan ketidakpastian sembari menerima kacamata yang sudah diperiksa oleh pegawai optik itu.

Dan mungkin -ini mah mungkin- malam ini si bapak berkumis (dan mungkin juga teman-temannya) itu masih bingung cari cara agar dapurnya tetap ngebul. dan anaknya tetap bisa makan dan sekolah. Mungkin.

Tapi mungkin saja dia sudah punya usaha lain yang halal dan justru bakal sukses seperti bapak pemilik optik itu.

Semoga.


2 responses to “Suatu siang di Jalan ABC dan sekitarnya”

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.