Kamu adalah tukang sampah


Sejak beberapa minggu belakangan, saya kembali ke habitat lama: menjadi kalong yang pulang tengah malam.

Menembus jalanan kota dan pinggiran Bandung. Tanpa macet tentu saja. Meski harus rada waspada karena suka ada gengster mengancam.

Tapi tulisan ini bukan tentang gengster. Juga bukan sepinya jalanan Bandung kalau malam. Ini tentang kebiasaan kamu. Kebiasaan saya. Kebiasaan kita. Buang sampah di mana suka.

Dalam beberapa minggu terakhir, hampir setiap hari saya lewati Tegallega di malam hari. Kawasan yang ketika siamg, sore dan malam selalu ramai. Selalu macet.

Selalu ramai, karena sepanjang jalan menuju Tegallega pasti dipenuhi para PKL yang tak segan menghabiskan setengah badan jalan. Akibatnya tentu saja menyebabkan kemacetan. Dan sepertinya kemacetan do sana semakin parah saja, seiring semakin merangseknya para pedagang ke tengah jalan.

Selain menimbulkan kemacetan, membeludaknya PKL yang katanya berada di zona merah itu tentu saja menyebabkan semakin banyak manusia yang datang ke sana. Entah untuk belanja atau sekadar window shopping.

Dan tentu saja, dengan semakin banyak manusia di sana, berbanding lurus dengan volume sampah yang dihasilkan. Inilah yang setiap hari saya saksikan di sana.

Ketika menuju tengah malam, jumlah pedagang di kawasan itu semakin berkurang. Jalanan semakin lengang. Tinggal beberapa pedagang -kebanyakan makanan- yang masih membuka lapaknya.

Tapi, tentu saja ada jejak kehadiran kehidupan perekonomian di sana. Dan ini yang paling kentara: Sampah.

Para PKL yang didominasi penjual aksesori, baju, dan buah-buahan itu meninggalkan jejak yang sangat nyata. sampah-sampah plastik yang tak sedap dipandang mata.

Sampah-sampah yang bersebaran ini semakin terlihat ketika malam semakin larut. Seperti tadi malam, sampah-sampah itu tampak berserakan.

Sayangnya, saya lihat hanya sedikit pedagang uang sudi membereskan sampah dari lapaknya. Sedikit yang peduli. Jika saja sampah itu dikumpulkan, bisa jadi jumlahnya bisa sampai memenuhi mobil pickup.

Tentu saja sampah-sampah itu bukan hanya dihasilkan oleh para pedagang (meski porsinya yang paling besar), para pembeli pun turut berperan. Juga pejalan kaki. Juga para pengguna jalan yang terjebak macet. Dan di antaranya mungkin kamu. Kita. Kami.

Sampai kapan kita harus terus bermasalah dengan sampah? sementara sampai saat ini kota Bandung tak punya tempat pembuangan sampah memadai.

Ahh, kamu memang tukang sampah…


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.