Karena kesempatan kadang tak datang dua kali


TAK sia-sia saya pulang larut malam hari ini, menjelang jam malam diterapkan. Tak sia-sia juga saya kabur dari kantor sore-sore. Karena kadang kesempatan tak datang dua kali.

Semuanya gara-gara email yang datang di pagi buta. Jam 1.52, seorang teman mengabarkan tema diskusi jumat sore ini di sekre akan kedatangan penulis terkenal.

Pria yang rela melepaskan kesempatan lanjut S2 di salah satu kampus ternama di Cina. Penulis yang nekad menyeberangi negeri-negeri Asia Tengah, yang sebagian di antaranya masih terlibat konflik.

Dialah penulis tiga buku perjalanan yang bagi saya sangat keren, Titik Nol, dan dua buku lainnya. Mas Agustinus Wibowo, salah satu penulis genre (?) travel writing di Indonesia.

Makanya, sejak datang ke kantor pagi-pagi, saya sudah niat untuk segera kabur setelah magrib. Meski tulisan mulai menumpuk setelah ashar, untungnya beres juga tepat jam 7 malam.

Jam setengah 8 malam, setelah nerobos lampu merah di perempatan Pasteur dan ngebut di jalan layang Pasupati, saya sampai juga di sekre di Jl. Gempol. Dan untungnya acara belum lama dimulai, meski jadwalnya mulai jam 6 sore.

Dalam diskusi informal ini, banyak hal yang disampaikan Agustinus. Terutama mengenai cara menulis narasi kreatif, cucu dari jurnalisme sastrawi (lalu siapa anaknya?).

Ternyata, banyak teori di balik tulisan renyah di buku-buku mas Agustinus. Teori yang tak banyak diajarkan di kelas, apalagi di bangku sekolahan.

Padahal, kata dia, teori creative writing yang disampaikannya banyak diajarkan di negeri paman sam sono. Bahkan sampai tingkat doktoral. Wow. Maka tak heran kalau tulisan feature di negeri abang sam sana (katanya) keren-keren.

Lalu apa isi diskusinya? Banyak :D. Yang pasti menulis sebuah feature travel writing itu tak cukup sekali langsung jadi. Bahkan setingkat Agustinus pun sampai nulis 20 kali untuk jadi buku siap terbit :O

Dan jangan lupakan fakta. Karena menulis tentang kejadian sebenarnya, kita tak boleh coba-coba memasukkan informasi atau data bohong. Karena bagaimanapun, semenarik-menariknya cerita, tulisan kita tetap harus tetap berpegang pada fakta.

Dan terakhir, untuk bisa menulis bagus, jangan berhenti menulis. “Izinkan kita untuk menulis jelek,” kata dia.

“Banyaklah jalan, banyaklah baca, banyaklah menulis.”

Ohiya, akhirnya buku saya ditandatangani sama penulisnya :D. Nggak satu buku, tapi dua. Ya, karena kesempatan tak datang dua kali, termasuk minta tanda tangan penulis :D.


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.