Ke Surabaya


KAMI datang kepagian. Belum ada yang datang, bahkan tidak ada satu panitia pun yang nongol. Tempat ini masih sepi. Hanya ada anak-anak yang sedang main bola di lapang parkir. Di dekat anak-anak itu, dua sopir sedang ngobrol. Salah satunya yang mengantar kami ke gedung ini.

Di pinggir jalan depan gedung, sejumlah anak muda sedang istirahat dan foto-foto di dekat motor miliknya. Di ujung sana, seorang ibu duduk menunggu pembeli. Dia menjual sarapan berupa pecel dan gorengan. Di sini, disebutnya peyek. Di tembok tempat ibu itu jualan, tertulis jelas “Dilarang Jualan.”

Nama gedungnya Jatim Expo, atau dikenal dengan nama JX International. Gedung yang berada di seberang Graha Pena Jawa Pos itu cukup besar. Di ruang bagian depan kiri ada kafe, di sebelah kanannya rumah makan cepat saji. Tapi ini masih pagi, baik kafe maupun fastfood itu masih belum buka. Untung sudah sarapan.

Apakah kami salah tempat? Tentu saja tidak. Pak Anang, sopir yang mengantarkan kami dari Stasiun Gubeng tak mungkin salah menurunkan kami berenam.

Tempat ini sepi karena kami memang datang terlalu awal. Sesuai jadwal, Festival Media akan mulai digelar hari Jumat, 16 Mei 2014 jam 9 pagi. Sementara ini baru jam 8 pagi, hari Kamis, 15 Mei 2014. Artinya acara baru akan dimulai 25 jam lagi. Wajar kalau lokasi acara masih belum siap.

Bahkan tak ada satu pun penanda bahwa akan ada gelaran skala nasional di sini, baik itu spanduk maupun umbul-umbul. Yang ada malah spanduk pengajian yang akan digelar pada Minggu 18 Mei.

Apakah kami salah jadwal? Sebenarnya tidak. Kami memang sudah merencanakan akan berangkat ke Surabaya sehari sebelumnya. Seperti acara serupa di Jogja September tahun lalu, kami datang awal agar dapat mempersiapkan stand lebih dulu, dan juga supaya tidak kecapean ketika acara karena sempat istirahat dulu (percayalah, perjalanan naik kereta kelas bisnis selama 13 jam itu lumayan bikin pegal).

Masalahnya, tak seperti ke Jogja, hanya ada 3 jadwal keberangkatan dari Bandung ke Surabaya. Satu jadwal pagi untuk kereta eksekutif (yang artinya tiketnya lebih mahal), satu jadwal berangkat sore untuk kereta kelas bisnis, yang tiketnya agak lumayan murah, dan kelas eksekutif yang berangkat malam.

Maka, dari hasil rapat pada awal Mei lalu, diputuskan akan berangkat naik kereta kelas bisnis, yakni Mutiara Selatan yang berangkat sore dan sampai di Surabaya (menurut jadwal di tiket) jam 5.45 pagi. Tanggal 14 Mei sore, rombongan tagonian berjumlah 6 orang ini pun akhirnya berangkat ke Surabaya.

Setelah menempuh 13 jam perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya sekitar jam 6 pagi kereta yang kami tumpangi samai juga ke Gubeng. Agak telat setengah jam dari jadwal seharusnya.

Kemudian kami bingung, karena belum ada yang menjemput kami. Beberapa kontak panitia sulit dihubungi. Sementara kontak di situs festival media tak mencantumkan kontak perseorangan. Sambil menunggu konfirmasi panitia, akhirnya kami cari tempat istirahat sekaligus sarapan, tempatnya di Soto Pak Ali.

Untunglah, ketika sedang sarapan, ada panitia yang menghubungi, dan katanya sudah mengirimkan mobil yang akan menjemput kami. Mobil Avanza putih itu ternyata sudah menunggu di depan lobi stasiun. Kemudian Pak Anang mengantar kami ke JX International, yang ternyata masih sepi.

Untunglah, setelah sekitar setengah jam menunggu, panitia dari Jakarta, mas Iman tiba di lokasi. Dia pun ternyata baru datang dari Jakarta. Sambil menunggu panitia, kami kemudian ngobrol di tukang pecel pinggir jalan. Mas Iman mengatakan, panitia belum nongol karena semalaman mereka mempersiapkan gedung, sehingga sebagian besarnya sedang istirahat. Sebagian lagi masih sibuk mengatur dekorasi di area JX yang ternyata cukup luas.

Ketika kami masuk (ternyata karena masih beres-beres, pintu utama masih ditutup dan panitia masuk lewat pintu belakang), belum semua stand tempat peserta dan sponsor selesai dibangun. Beberapa masih dikebut, termasuk panggung utama. Bahkan stand untuk peserta delegasi kota belum rampung.

Kami pun mengurungkan niat untuk mendekor stand, dan memilih beristirahat di wisma setelah panitia mengabarkan jika wisma sudah dapat ditempati. Kami pun diantar Pak Anang ke Wisma yang jaraknya lumayan, sekitar 1,3 kilometer ketika saya lihat di googlemaps.

Wisma itu berada di kompleks Kementerian PU, tepatnya di kantor Badan Penanganan Lumpur Sidoarjo di Jalan Gayung Kebonsari. Sekitar 300 meter dari Jalan Ahmad yani. Seperti sudah diduga, kami menjadi rombongan pertama yang menempati wisma. Kami pun istirahat dan menikmati dinginnya AC yang disetell 16 derajat di tengah panasnya cuaca Surabaya yang digosipkan punya 9-16 matahari.

Sore hari, panitia mengabari jika stand sudah siap untuk didandani. Sekitar jam 5 sore, kami pun berangkat ke lokasi. Kami memilih jalan kaki karena tak ada mobil yang mengantar ke lokasi. Sementara naik angkot pun tak tahu harus naik apa.

Meski sudah hampir magrib, cuaca Surabaya masih cukup panas. Apalagi ditambah harus jalan kaki 1 kilo melewati jalan Ahmad Yani yang cukup sibuk. Sekitar jam 6 kurang kami tiba di lokasi, dan di sana ternyata rombongan Jogja sudah selesa mendandani standnya.

Dari hasil undian, kami mendapat tempat di pojok belakang kiri dari pintu masuk, bersebelahan dengan stand Jogja. Diselingi istirahat makan malam di angkringan pinggir rel, sekitar jam 9 akhirnya stand berhasil didekorasi. Buat kami, standnya cukup unik (kalau tak dikatakan absurd), dengan menggunakan properti kursi sofa bekas yang kami ‘pinjam’ dan diselubungi kain hitam bekas pameran foto beberapa waktu lalu. Sementara di bagian dinding kiri ditutupi juga dengan kain hitam dan dimaksudkan sebagai ‘buku tamu’.

Setelah beres, kami pun pulang ke wisma, dan seperti biasa, kembali jalan kaki. Tapi kali ini tak lagi berenam, karena ada tambahan satu orang, Andra, yang baru datang dari Jakarta.

Hari kedua di Surabaya
Bangun pagi adalah wacana. Meski sudah diputuskan akan berangkat ke lokasi jam 8-an, akhirnya cuma jadi wacana. Kami berangkat sekitar jam setengah 9. Padahal acara dimulai jam 9, dan panitia meminta kami harus pindah stand ke bagian depan. Duh. Apalagi kami belum menata barang bawaan, buku-buku, kaos, kartupos, dan sweater. Mana sempat dengan waktu yang mepet begini?

Untunglah ternyata kami tak jadi pindah. Ketika sampai ke lokasi sekitar jam 10 (saya dan mega terpisah dari rombongan karena harus menukarkan uang dulu), stand kami masih di sana, di pojok kiri dekat stand makanan. Dan untungnya lagi, acara belum dimulai, meski ibu wali kota Surabaya sudah berkeliling stand (dan tak sempat menandatangani ‘buku tamu’ kami).

Acara festival media ini dibuka oleh Wagub Jatim, Saifullah Yusuf. Ternyata dia merupakan salah stau deklarator AJI. Dia pun sempat menandatangani buku tamu kami ketika berkeliling stand.

Di hari pertama ini, ada beberapa acara yang sebenarnya cukup menarik. Ada workshop menulis kuliner dan travelling, ada seminar CEO di aula utama, dan ada juga workshop bersama Ratna Dumila.

Saya mengikuti dua workshop pertama, tentang menulis kuliner dan travelling. Sayangnya, narasumber workshop yang pertama tak begitu bagus. Apalagi setengah jam pertama habis untuk menyiapkan proyektor yang susah terhubung dengan laptop panitia. Setelah nyala, sekitar 10 menit kami menonton video mengenai buku si penulis. Itu pun bukan buku tentang kuliner.

Untunglah, di workshop yang kedua, acaranya cukup menarik. Agung Bawantara, penulis situs (yang kemudian jadi buku) Jalan-jalan Bali menyajikan materi dengan baik. Dia mengklaim, buku wisata yang dia tulis sangat lengkap, bahkan lebih lengkap daripada katalog maupun brosur yang dimiliki dinas pariwisata setempat.

mantan jurnalis yang sekarang menjadi dewan juri sebuah festival film itu pun menyajikan beberapa tips dan rik menulis perjalanan, baik itu menulis perjalanan berupa memoar, media berbagi, atau sebuah panduan perjalanan. Salah satunya tips yang dia sebut skrip 88.

Skrip 88 sebenarnya diadaptasi dari video. Jadi, dalam menulis perjalanan dibagi menjadi 8 bagian dan tiap bagian disertai dengan sebuah foto.

Lalu bagaimana dengan jualan?
Di acara hari pertama, alhamdulillah banyak barang dagangan yang kami bawa laku terjual. Seperti kaos, gantungan ID card, dan buku.

Hari ketiga
Lagi-lagi kami bangun siang. Sebenarnya saya bangun subuh (ketika hujan tiba-tiba turun dengan derasnya), tapi setelah salat tidur lagi. Akhirnya kesiangan. Kami pun baru sampai ke lokasi sekitar jam 10 lebih. Untungnya, peserta lain pun sepertinya kesiangan, sehingga acara yang seharusnya dimulai jam 9, ketika kami datang belum dimulai.

Di hari kedua festival ini, saya ikut workshop fotografi dengan gadget. Materinya menarik karena dalam workshop ini peserta diajak untuk memaksimalkan kamera ponsel mereka agar hasilnya maksimal. Hasilnya tak sia-sia, karena berkat materi yang dibawakan mas Dita Alangkara dan mas Zamroni ini, saya berhasil menang lomba foto yang diadakan panitia dan KPK hehe.

Ini merupakan hari terakhir festival, dan menurut jadwal, akan selesai jam setengah 8 malam. Tapi sampai jam 7 malam belum ada tanda-tanda acara akan segera selesai. Di panggung utama, masih digelar lomba stand up commedy. Pengumuman hadiah lomba belum diumumkan. Juga dua band yang mengisi acara penutupan belum ada tanda-tanda akan segera main. Padahal perut kami sudah mulai lapar.

Menjelang sore, acara di panggung utama memang agak molor, entah apa sebabnya. Padahal sebagian peserta sudah mulai siap-siap pulang karena diburu jadwal kereta atau pesawat yang kadung sudah dipesan.

Untunglah, sekitar jam setengah 9, pengumuman lomba mulai diumumkan (horeee naik ke panggung! :D), dan band penutup mulai main. Sayangnya, sebagian peserta sudah pulang, sehingga ketika band itu tampil, yang menonton cuma sedikit. Kami pun tadinya mau segera pulang ke wisma, tapi Kang Adi minta untuk ikut sampai acara selesai. “Nggak enak sama panitia.”

Lalu band terakhir pun naik panggung. Bukan band pop biasa, tapi band asamble. Sayang saya lupa namanya. Jika sebelumnya suasana depan panggung sepi, kali ini meriah. Benar-benar meriah. Hampir seluruh panitia didaulat berjoget depan panggung. Bahkan mas Item pun ikutan, sementara mas Iman dengan pedenya ikut nyanyi di atas panggung. Suasana pun semakin meriah. Benar-benar meriah.

Kami pun pulang. Kali ini diantar mobil panitia, meski tak semua masuk karena kami banyak bawa barang. Kang Adi, mas joko, dan ari morgan akhirnya memutuskan naik angkot. Sementara sisanya naik mobil panitia sampai depan wisma.

Sampai wisma, kami baru ingat, kunci kamar dipegang mas Joko, yang tadi siang paling akhir keluar wisma. Untunglah kami tak menunggu lama, sehingga bisa cepat beristirahat (walaupun akhirnya baru bisa tidur jam 1 malam).

Hari keempat
Ini hari terakhir di Surabaya. Sebagian besar peserta sudah pulang ke kotanya masing-masing. Teman-teman Jogja sudah pulang tadi malam, naik mobil carteran. Sementara yang dari Kendari check out dari wisma pagi-pagi. Kami jadi rombongan terakhir di wisma.

Datang paling awal, pulang paling akhir.

Karena jadwal kereta ke Bandung dari Gubeng berangkat jam 5 sore, kami putuskan seharian itu untuk tamasya. Jalan-jalan. Setelah menitipkan barang di stasiun ke seorang porter (di Gubeng tak ada loker tempat penitipan barang), kami berangkat ke Pasar Genteng naik taksi yang sopirnya ternyata pernah tinggal di Cimahi. Di pasar, rombongan kang Adi, mas joko dan Ari morgan sudah menunggu.

Di sini, kami beli oleh-oleh. Sayangnya, saya tak menemukan makanan khas Surabaya. Di toko Bhek tempat kami belanja, tak ada makanan ringan yang bisa dijadikan makanan khas Surabaya. Ada juga makanan khas kota lain, seperti Sidoarjo, Malang, dan kota lain di Jatim. Kalau pun ada, paling sambal, seperti sambal Bu Rudy.

Waktu saya tanya ke teman yang dulu kuliah di ITS, jawabannya malah makanan basahan, seperti lontong balap, rawon, atau rujak cingur. Meski itu memang makanan khas, tapi kan sulit juga dibawa ke Bandung.

Akhirnya di toko itu, saya beli sambal Bhek (bukan sambal Bu Rudy karena harganya ternyata lebih mahal), brem, dan jenang apel khas Malang. Tadinya mau beli bandeng presto, tapi sulit bawanya, harganya pun lumayan mahal.

Beres belanja, lalu kami jalan-jalan. Dalam arti sebenarnya. menyusuri secuil kota terbesar kedua di Indonesia itu dengan berjalan kaki. Tujuan akhir kami adalah Gubeng, tapi sempat istirahat dulu di depan kantor balai kota Surabaya. Trotoar depan balai kota ini benar-benar nyaman. Selain lebar, juga ada air mancurnya. Bahkan beberapa anak kecil tampak asyik bermain air di sana. Seandainya balai kota Bandung bisa asyik seperti ini…

Perjalanan dilanjutkan. Tujuannya Museum Kapal Selam, yang ternyata letaknya dekat Stasiun Gubeng. Museum yang terletak di pinggir sungai itu mencolok, dengan ukuran yang cukup panjang dan tinggi. Ini memang benar-benar kapal selam yang pernah digunakan TNI yang kini diistirahatkan dan dijadikan museum.

Meski ukurannya cukup lebar, ketika masuk ternyata ruangan di dalamnya lumayan sempit. Kapal selam sepanjang 76 meter itu dibagi menjadi beberapa ruangan. Salah satunya ruangan paling depan yang digunakan sebagai tempat tidur prajurit. Tempat tidur itu berdampingan dengan 4 buah rudal ukuran ekstra besar. Dan panjang.

Jam setengah dua siang. Masih ada waktu 3,5 jam sebelum kereta berangkat. Dan ada satu lokasi yang belum dikunjungi: Cak Cuk Gallery, yang menjual kaus khas Surabaya. Mungkin mirip Dagadu-nya Jogja atau Mahanagari-nya Bandung.

Kata teman Irfan yang orang Surabaya, lokasi Cak Cuk ada di dekat Unair kampus B, masih sekitar Gubeng. Masalahnya, di mana letak kampus Unair? Dari hasil googling, katanya lokasi toko ada di Jalan Dharmawangsa. Tapi itu di mana?

Di tengah teriknya matahari, kami pun mencari jalan ini, dan kami tak tahu bahwa saat itu salah ambil jalan. Kami ambil jalan memutar, menyusuri jalan Dharmawangsa dari ujung perempatan jalan besar dekat Gubeng. Sementara toko Cak Cuk masih jauh dari perempatan itu.

Sekitar setengah jam, mungkin lebih, kami jalan kaki sambil bawa tas cukup berat, mencari toko yang ternyata cukup kecil itu. Untung ketemu, meski setelah masuk masih ternyata koleksinya tak lengkap. Kaos incaran mas joko tak ada ukuran besar. Untunglah kaos incaran saya ada ukurannya. Harganya? standar harga kaos, 75 ribu rupiah.

Sudah hampir jam 4, dan kami masih di toko Cak Cuk yang jaraknya cukup jauh dari stasiun. Untunglah ternyata ada jalan pintas untuk ke Gubeng, melewati jalan kecil di perumahan penduduk. Meski kecil, jalannya cukup terawat dan bersih, hal yang susah didapat di Bandung.

Lewat jalan kecil ini, kurang dari 15 menit kami sudah di stasiun lagi. Sampai di stasiun, Ari morgan yang tak ikut berburu kaos sudah menunggu di depan Alfamart. Setelah beristirahat sebentar (dan belanja makanan+minuman), kami masuk stasiun dan ambil barang ke porter.

Karena tak ada loker resmi, susah juga menaksir berapa ongkos penitipan itu. Awalnya, mas porter meminta upah 15 ribu untuk upah jaga tas untuk petugas di executive lounge (tasnya disimpan di sini), dan 30 ribu untuk jasa dia, sekalian mengantarkan barang hingga ke kereta. Tapi setelah adu tawar, kami hanya cukup bayar 30 ribu saja untuk barang-barang bawaan yang cukup banyak itu.

Ah, seharusnya setiap stasiun ada tempat penitipan barang, sehingga pelancong yang mau belanja atau jalan-jalan sembari menunggu jadwal kereta bisa lebih leluasa.

Jam 5 kurang 10 menit, Mutiara Selatan akhirnya tiba di stasiun. 10 menit kemudian, kereta kelas bisnis ini pun berangkat meninggalkan Gubeng, menuju Bandung. Inilah akhir perjalanan kami di Surabaya. Selamat tinggal, kota pahlawan..

Tapi, perjalanan belum selesai. Karena saya turun di Jogja…


2 responses to “Ke Surabaya”

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.