Festival Kopi yang tak terasa festivalnya


Pemkab Bandung punya acara keren. Harusnya. Mempertemukan para pencinta kopi dengan produsen dan petani kopi. Maka digagaslah acara Bandung Coffee Festival. Sayang eksekusinya kurang maksimal.

Foto kiriman hahn (@hahnsaja) di



Acara yang digelar sejak kemarin itu dilaksanakan di Gedung Mochamad Toha, kompleks Pemkab Bandung. Nama gedung yang diambil dari pahlawan asal Kabupaten Bandung yang meledakkan dirinya ke gudang senjata di Dayeuhkolot saat zaman perang lalu.

Masalahnya, lokasi gedung itu ternyata agak sulit diakses, setidaknya ketika jalan masuk kompleks Pemkab berubah karena sedang ada renovasi pagar. Saya yang datang sekitar pukul 11 siang harus beberapa kali nyasar sebelum menyerah dan kembali ke pintu gerbang untuk bertanya ke Satpol PP. Sialnya, petunjuk dari petugas keamanan itu pun agak membingungkan.

“Dari sini belok kanan, lalu belok kiri, dan belok kiri lagi. Nanti ketemu gedung Mochamad Toha,” ujar salah satu petugas ketika saya menanyakan lokasi acara.

Ya, saya harus bertanya ke petugas yang saat itu hanya ada di pintu gerbang. Tidak ada petunjuk arah yang dibuat oleh panitia. Atau spanduk di pintu gerbang.

Untunglah, setelah beberapa kali salah belok, akhirnya saya bisa menemukan gedung itu. Ternyata gedung Mochamad Toha letaknya di belakang lapangan yang ada air mancurnya. Jika saja gerbang utama dibuka, sebenarnya bisa lebih mudah diakses.

Saya masuk ke lokasi acara sekitar jam 2, karena sebelumnya ada pertemuan dulu di gedung BAPAPSI (seperti mencari gedung M Toha, perlu waktu setengah jam bagi saya menemukan gedung ini).

Sesaat setelah masuk pintu utama, aroma kopi yang menggoda mulai tercium. Benar-benar menyenangkan mencium aroma kopi yang cukup tajam itu.

Festival kopi yang bertema 7 wonder of Bandung Distric itu ternyata digelar di aula utama yang cukup luas. Di sana, para peserta festival memamerkan produk kopi unggulannya. Juga beberapa stan sponsor, seperti stan bank BJB dan BNI.

Suasana aula agak gelap karena tak semua lampu dinyalakan. Sayup-sayup terdengar suara musik. Di beberapa tempat, bangku-meja yang disediakan panitia tampak diisi para pengunjung dan panitia. Sebagian di antaranya asyik menyeruput secangkir kopi. Aula itu disulap mirip seperti kafe-kafe di Kota Bandung.

Meski suasana aula didesain cukup menarik, tapi secara umum saya agak kecewa, karena tak sesuai dengan ekspektasi sebelumnya. Ketika membaca berita tentang acara ini, saya membayangkan festival ini bakal dihadiri puluhan produsen kopi yang bakal menyajikan kopi unggulannya. Berusaha memikat para pembeli dan juga distributor.

Ketika saya masuk, mungkin kurang dari 10 peserta yang mengikuti festival ini. Bahkan mungkin hanya 2 stan saja yang menyajikan kopi. Produsen pertama, CV Golden Malabar, menyajikan produk unggulan kopi Arabica dan Kopi Luwak. Sementara produsen kedua, (kalau tidak salah) punya nama dagang Poppy Coffee.

Sementara di bagian tengah aula, sejumlah kopi mentah yang masih berwarna hijau dipamerkan. Sebagian besar kopi ini berasal dari kawasan Pangalengan.

Selain itu, di panggung utama pun tak ada acara. Sepi. Bisa jadi karena saya datang sudah agak sore. Padahal kalau dilihat dari rundown acara, seharusnya ada Coffee competition dan Coffee Auctions. Tapi ya sudahlah.

Dari dua stan kopi yang saya temukan, saya hanya sempat mencicipi kopi di Golden Malabar (karena cuma di sini yang menyajikan kopi gratis hehe). Secangkir kopi yang diracik dari biji kopi yang digiling dadakan menggunakan mesin entah apa namanya. Rasanya? Benar-benar nikmat.

Sebagai bukan pencinta kopi betulan (karena selalu bermasalah dengan lambung), kopi arabica dadakan itu rasanya beda dengan kopi biasa, apalagi kopi sachetan biasa. Meski tanpa gula, masih ada rasa agak manis dari buih-buih kopinya. Pantas saja rasanya enak, karena harganya pun cukup lumayan.

Foto kiriman hahn (@hahnsaja) di

Sebenarnya tak hanya produsen kopi yang ikut festival ini. Ada juga produsen teh yang ikut ambil bagian. Mengambil tempat di sisi kiri aula, Pucuk Sari memamerkan produk unggulannya: White Tea. Teh yang diklaim punya segudang khasiat itu dijual dalam bungkus kaleng karton ukuran sekitar 40 gram. Harganya? fantastis, hanya 250 ribu saja per kalengnya.

Menurut bapak penjaga stan (saya lupa menanyakan namanya), teh putih itu memang cukup mahal karena prosesnya cukup rumit. Dia menjelaskan, teh itu dipetik dari pucuknya yang masih kuncup, dan harus dipetik sebelum jam 6 pagi. Dia pun mengklaim teh itu punya banyak manfaat bagi kesehatan.

Apakah teh ini diekspor? Bapak penjaga stan membenarkannya. Hanya saja, dia mengaku tak bisa memenuhi permintaan dari semua negara, terutama Jepang yang punya tradisi minum teh yang sangat kental. Alasannya sederhana, produksinya sangat terbatas. “Dari 4 hektare paling cuma jadi beberapa kaleng,” ujar dia. Pantas saja mahal.

Selain white tea, Pucuk Sari pun menjajakan teh hijau. Dia menjelaskan, bahan baku teh hijau ini juga berasal dari daun teh berkualitas, namun masih di bawah standar white tea. Harganya agak lumayan, satu toples plastik dibanderol 50 ribu rupiah saja.

Tertarik datang ke acara ini? Silakan, masih ada waktu sehari ini :D.


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.