Kurtilas yang tidak jelas


Tahun lalu, ketika kabinet bapak SBY hampir selesai bertugas, bapak menteri pendidikan dan kebudayaan sangat semangat mempromosikan kurikulum untuk sekolah tingkat dasar dan menengah. Namanya keren, Kurikulum 2013. Biasa disingkat kurtilas.

Maka, meski persiapan belum sepenuhnya selesai dan banyak kritik tentang isi kurikulum yang dinilai tidak jelas, bapak menteri tetap keukeuh menerapkan kurikulum tersebut di (hampir?) semua sekolah di Indonesia tercinta.

Termasuk di sekolah tempat saya mengajar. Sebuah pesantren modern yang memadukan kurikulum pendidikan nasional dengan kurikulum pesantren yang khas.

Tentu saja, saat itu, penerapan kurikulum baru ini menemui banyak hambatan. Apalagi bagi saya sebagainya guru abal-abal yang tak pernah mengikuti pelatihan tentang kurtilas ini.

Akhirnya ketika diterapkan, tak ada yang berubah dari segi penyampaian materi. Bedanya, untuk pelajaran matematika, ada penambahan bab. Dari yang awalnya hanya 4 bab jadi 6 bab.

Hasilnya bisa ditebak. Saat mendekati akhir semester, dua bab terakhir tak sempat dibahas di kelas. Sementara bab 4 yang tentang matriks baru setengahnya.

Itu belum termasuk pelajaran peminatan. karena pas UAS ternyata pelajaran matematika ada dua, wajib dan peminatan. kacau.

Beruntung, ketika masuk semester 2, pak menteri yang baru memutuskan setiap sekolah kembali menggunakan kurikulum 2006. Hanya beberapa sekolah saja yang menggunakan kurtilas, itu pun sebagai percontohan.

Lalu masuk bulan Juli, tahun ajaran baru. Muka-muka siswa baru, dan siswi-siswi unyu yang baru. Ada pertanyaan yang kembali mengemuka: Pakai kurikulum mana?

Dalam rapat guru saat awal tahun pelajaran, diputuskan bahwa kami akan menggunakan kurtilas lagi. Duh. Belakangan saya baru tahu bahwa kurikulum ini dipakai untuk seluruh sekolah di Kabupaten Bandung yang berada di bawah Kemenag. Entah yang di bawah Kemdikbud.

Padahal, dalam sebuah berita di koran PR, Sabtu (15/8/2015), tertulis bahwa baru 6% sekolah yang akan menggunakan kurtilas yang namanya berubah menjadi kurikulum nasional ini. Dan tahun depan akan bertambah sehingga menjadi 25% saja.

Sementara sisanya? Ya kembali ke kurikulum 2006. Jumlah yang 6% pun merupakan sekolah yang benar-benar siap menerapkan kurikulum baru itu dan menjadi rujukan bagi sekolah lain pada tahun depan.

Iseng, saya pun ngetwit mempertanyakan tentang penerapan kurtilas alias kurnas di seluruh sekolah di Kabupaten Bandung. Jawabannya -meski tak jelas- katanya kurikulum ini baru akan diterapkan tahun depan, dan tidak semua sekolah. Kenyataannya? Ya begitulah.

Sekarang sudah masuk akhir Oktober, dan sebentar lagi UAS. Sementara materi yang baru diajarkan baru sampai bab 3. Apa cukup menyampaikan materi 3 bab sisanya dalam waktu hanya satu bulan? Tentu saja itu takkan mungkin.

Untuk yang 3 bab pun sebagian besar siswa sudah pusing, dan merasa terlalu cepat. Apalagi kalau harus dibereskan semuanya? Makin pusing.

Wahai para pejabat di Kemenag dan Disdik Kabupaten Bandung, cobalah anda bekerja dengan benar. Lihatlah kemampuan siswa, guru, dan sekolah. Apakah semuanya memang sudah siap dengan kurikulum yang oleh Mendikbud saja masih disempurnakan?

Wahai kalian yang sudah digaji dari keringat kami, lihatlah keresahan siswa di pelosok yang harus terseok-seok belajar karena harus mengejar materi yang sebegitu banyaknya.

Wahai kalian para pejabat, baleg gawe teh sateeeeeeeeeh.

yak, ini mah curhat dari seorang guru kurang (ng)ajar 😀


One response to “Kurtilas yang tidak jelas”

  1. sebaiknya guru diberikan pelatihan atas kurikulum yang baru. sehingga dapat memanage waktu yang akan diajarkan

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.