Ngadu bagong


Kampung kami sebenarnya bisa dibilang relijius. Setidaknya di RT tempat tinggal keluarga orangtua di kampung yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Tapi bukan berarti semuanya relijius…

Setidaknya di sebelah utara kampung kami, banyak orang-orang yang bisa dibilang kurang relijius, jika itu dinilai dari seberapa penuh masjid saat salat berjamaah. Atau dari berapa banyak warganya yang suka minum-minum. Atau dari warganya yang suka ngadu bagong. Ya ngadu bagong alias babi hutan dengan anjing galak.

Tempatnya memang cukup strategis. Berada di bagian yang bisa disebut lembah di antara jalan desa dan sungai kecil. Tanah itu biasanya ditanami padi jika sedang musimnya. Atau dibiarkan menjadi tempat tak terurus ketika kemarau. Di tempat itulah, ketika kemarau, menjadi tempat orang-orang yang punya anjing pemburu mengadakan acara ngadu bagong. Mungkin sambil taruhan. Mungkin.

Karena berada di lahan yang cukup rendah dari jalan, maka bisa dibilang tempat itu cukup strategis untuk dijadikan tempat mengadu keberanian para anjing dengan bagong alias babi hutan. Di sekeliling tempat itu dipasang pagar dari bambu, supaya takada babi atau anjing yang kabur ketika pertempuran dilangsungkan. Sementara orang-orang bisa menonton acara itu dari pinggir jalan yang letaknya cukup tinggi, jadi agak aman dari kemungkinan dikejar bagong yang bisa saja kabur.

Cara mainnya cukup sederhana: Masukkan babi hutan yang mungkin sedang kelaparan dan lagi galak-galaknya ke arena pertarungan. Setelah itu, masukkan seekor anjing untuk bertarung sampai berdarah-darah. Kadang anjingnya yang menang, kadang malah si babi yang berkuasa. Yang pasti, pertarungannya cukup kejam, terutama bagi saya yang waktu itu masih unyu-unyu.

Mungkin karena permainan itu cukup kejam dan seringkali dimanfaatkan untuk arena pertaruhan, hanya beberapa kali saja adu bagong berhasil digelar. Seingat saya malah cuma 2 kali saja. Sampai sekarang seingat saya belum pernah ada lagi pertarungan yang tidak berperikehewanan itu di tempat tersebut.

Cerita itu sebenarnya sudah cukup lama, ketika bang Rano masih jadi si Doel. Setelah tak ada lagi arena adu bagong, lahan di pinggir sungai itu tak lagi dijadikan arena bertarung apapun. Kalau tidak menjadi lahan sawah, ya hanya jadi lahan tak terurus. Bahkan seringkali jadi tempat sampah oleh orang yang suka memproduksi sampah namun tak tahu cara menjadi manusia dengan membuang sampah ke tempat seharusnya.

Tapi…

Kini sawah itu sudah tak ada lagi. Sejak beberapa minggu lalu, puluhan kali truk bermuatan tanah dan batu bolak-balik mengisi lembah sedalam sekitar 5 meter itu. Bahkan backhoe kecil pun dikerahkan untuk meratakan tanah galian itu sehingga sejajar dengan jalan desa.

Ada yang bilang sawah bekas arena adu bagong itu mau disulap jadi minimarket. Ada pula yang bilang mau dibangun tempat belajar atau les atau apalah. Apapun bangunan yang bakal berdiri di sana, yang pasti lagi-lagi lahan sawah di (dekat) kampung kami kembali berubah wujud. Menjadi tempat tinggal manusia yang kebanyakan masih makan nasi yang ditanah di lahan sawah yang makin menipis.

Bisa jadi, nanti manusia bakal makan bata, karena lahan sawahnya sudah habis 🙁


2 responses to “Ngadu bagong”

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.