Jurnalis juga buruh


MUMPUNG masih hari buruh, tidak ada salahnya posting tulisan serius. Setidaknya mengingatkan saya bahwa saya pun seorang buruh. Untuk itu, saya forward pernyataan AJI Bandung berkaitan dengan hari buruh sedunia yang jatuh hari ini.

Pelanggaran Hak Buruh di Industri Pers:
Pemberangusan Serikat Buruh, Pengkastaan Jurnalis, sampai PHK Ilegal

Dalam peringatan May Day tahun ini AJI Bandung kembali ingin menegaskan, bahwa jurnalis adalah buruh. Untuk itu AJI tetap konsisten untuk bersama kaum buruh dan terlibat dalam gerakan buruh di Indonesia. Dan karena itu, jurnalis membutuhkan dukungan seluruh elemen gerakan buruh

Bagi buruh industri pers, peringatan May Day tahun ini tandai oleh beberapa pelanggaran yang dlakukan oleh pengusaha industri pers terhadap buruhnya. Yang paling menyedot perhatian adalah pemecatan 13 buruh Indonesia Finance Today (IFT) di Jakarta, yang dipecat beberapa waktu setelah mendirikan serikat buruh dan mengajukan beberapa tuntutan kepada manajemen IFT. Kasus ini masih bergulir dan belum ada penyelesaian. Kasus pemberangusan serkat pekerja di IFT menambah daftar panjang kasus serupa di industri pers di Indonesia.

Selain kasus-kasus yang mencuat ke permukaan, seperti union busting, jurnalis juga harus menghadapi perilaku industri pers yang menghisap dan mengeksploitasi pekerjaan jurnalis. Salah satu yang paling kentara, adalah diberlakukannya pengkastaan jurnalis, setidaknya menjadi tiga kasta: jurnalis organik perusahaan, kontributor, dan koresponden.
Para jurnalis itu melakukan pekerjaan yang persis sama, yaitu melakukan peliputan, mengolah berita, dan memberikannya kepada perusahaan, tetapi upah mereka dibayar secara berbeda, walau pun mereka berada dalam perusahaan yang sama. Jurnalis organik mendapatkan upah tetap setiap bulan, disertai berbagai tunjangan lainnya. Sedangkan kontributor dan koresponden diupah berdasarkan berita yang dicetak/ditayangkan. Bagi dua kelompok itu, seringkali tidak ada tunjangan apa pun, selain upah berita yang mereka terima.

Yang lebih parah lagi, sekarang industri media mulai memerhatikan taktik lain, yaitu mengeluarkan jurnalis dari koridor undang-undang perburuhan. Caranya, adalah dengan menyebut mereka sebagai “penyedia jasa berita”.
Apa dampaknya dari pergantian istilah itu? Jika jurnalis ingin menuntut atau bersengketa dengan perusahaan yang mempekerjakan mereka, maka jurnalis tidak dapat memprosesnya dalam koridor aturan perburuhan, sebab dengan istilah “penyedia jasa berita” maka jurnalis diposisikan sebagai “penjual berita” dan perusahaan pers sebagai “pembeli berita”. Artinya, tidak ada urusan perburuhan dalam hubungan mereka.

Hal seperti itu dapat saja berlaku adil, jika harga per berita ditetapkan secara layak, dan ada negosiasi. Namun yang terjadi sama sekali tidak ideal. Harga berita relatif rendah, lebih banyak ditentukan oleh perusahaan, dan tentu saja risiko peliputan harus ditanggung sepenuhnya oleh jurnalis. Bahkan mereka tidak didaftarkan ke Jamsostek.

Perilaku lain yang tidak kalah kejam, adalah beberapa kasus yang menimpa beberapa kawan jurnalis, yang dipaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya oleh atasan langsung atau manajemen perusahaan mereka. Ada laporan yang masuk kepada kami, seorang jurnalis perempuan yang sedang hamil lima bulan dipaksa mundur dari pekerjaannya karena dianggap tidak produktif bekerja. Itu menunjukkan perusahaan tidak memberikan toleransi terhadap beratnya masa kehamilan, dan menunjukkan rendahnya pemahaman mereka atas hak-hak perempuan.

Dalam peringatan May Day ini kami juga ingin mengajak semua elemen buruh untuk ikut mendukung penuntasan berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Indonesia. Kasus pembunuhan Udin, misalnya, sampai saat ini belum terungkap jelas. Begitu juga pembunuhan kawan Ridwan Salamun, jurnalis Sun TV di Maluku, sampai saat ini masih menyisakan tanya.

Bandung, 1 Mei 2012

Zaky Yamani
Ketua AJI Kota Bandung

[adsense_id=4]


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.