Cerita Tersangka VS Polis


Jumat pagi itu, di jalan Moh. Toha Bandung. Jalanan seperti biasa, sedikit macet dan paciweuh. Kebetulan di perempatan Ciateul-Moh. Toha Lampu lalulintas sudah merah. Cuma si diya ngotot nembus itu perempatan.

Tiba-tiba dari kegelapan datanglah mahluk berwarna coklat berseragam coklat.

“Anda tadi menerobos lampu merah,” kata mahluk yang ternyata teridentifikasi sebagai polis itu. Si diya yang menjadi tersangka berusaha mengelak.

“Wah pak, da tadi mah masih kunging, pak. Lihat saja itu mobil juga maju,” sanggahnya sok bener.

“Mobil yang itu? (sambil nunjuk mobil kijang warna biru) Liat dong, dia berhenti di tengah jalan, ga nerobos lampu merah,” jawabnya.

Lalu si tersangka dibawa oleh temennya polis yang juga sesama polis. Ia dibawa ke daerah yang sepi dari orang. Lalu polis itu mengeluarkan buku tilangnya yang berwarna merah muda. Juga memperlihatkan “harga” pelanggaran-pelanggaran lalu lintas.

“Kamu melanggar rambu lalu lintas.Kamu bisa lihat di sini (memperlihatkan daftar harganya). Jadi kamu harus bayar sebesar Rp. 22500 di pengadilan,” jelasnya.

Sebagai rakyat kecil dan pengangguran, uang itu lumayan besar. Apalagi di kantong cuma ada duit 10 rebu, dan beberapa duit receh. Si diya lalu bertanya, “Itu sidangnya kapan pak?”

“Tanggal 25”

“25 apa pak?”

“ya Januari atuh mas. ”

“Oh… di mana pak?”

“lihat nih, di sini.” Di buku itu ternyata sudah ditulis tanggal dan tempat sidangnya. Sidangnya digelar di Jl. Riau.

“Oh kalau tanggal segitu mah sepertinya saya bisa pak,” jawab diya.

Ternyata sang polis nggak langsung nulis tilang. Ia masih kukurilingan di bengkel tempat transaksi tilang berlangsung.

“Bener nih mau sidang?”

“Ya kalau itu harusnya, mau gimana lagi pak. Saya sekarang nggak punya uang. Saya cuma punya 10 rebu. Itu juga buat bensin,” si diya sedikit memelas.

“Ya udah atuh saya tulis.” Lalu sang polis menulis “SDA” di buku tilang yang berwarna merah jambu itu. Si diya ieng nanya ke polis.

“Pak bukannya ada sidang di tempat pak? yang slip berwarna biru?”

Sang polis nggak jawab. Dia hanya menunjukkan sekilas slip yang berwarna biru. Tapi nggak memperlihatkan bentuknya. Ia hanya menjawab itu sekarang bayarnya lewat BRI.

“Ya udah atu pak, kalau bisa lewat BRI mah saya bayar lewat sana aja,” si diya sok yakin tea. Padahal diya ngga punya rekening di BRI. Juga ngga tau cara bayar sidang di BRI.

Tiba-tiba sang polis menutup buku tilangnya.

“Ya udah atuh kamu sekarng punya duit berapa?”

“ya cuma segitu pak. Itu juga buat bensin.”

“Ya udah atuh. kamu bayar 10 rebu aja. Nggak usah sidang. Lain kali jangan melanggar lagi yah!”

“Iyah pak. insaaloh.”

Maka, hari itu, hilanglah uang satu-satunya yang ada di kantong si diya.


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.