Pasar Antre 2014


JIKA jumlah pengunjung dijadikan patokan, maka pelaksanaan Pasar Seni 2014 yang digelar Minggu (23/11/2014) kemarin tentu sangat sukses. Sukses besar. Tapi lain halnya jika yang dijadikan patokan adalah kepuasan. Tentu bakal subjektif.

Pasar seni yang tahun ini hanya digelar sehari ini, Minggu (23/11/2014), dijubeli oleh ribuan pengunjung. Tak hanya warga Bandung dan sekitarnya, karena banyak juga mereka dari luar kota yang sengaja datang ke Bandung demi melihat bagaimana even empat tahunan ini digelar. Salah satunya teman saya yang rela jauh-jauh datang dari Purwakarta demi melihat hajatan kesenian ini.

Meski sudah digelar setidaknya 3 kali dalam 10 tahun terakhir, tapi bagi saya ini yang pertama. Pada helaran Pasar Seni 2010 yang dilaksanakan di tanggal cantik (10/10/10), saya tak sempat datang. Padahal saat itu gaungnya cukup ramai, seperti yang kemarin digelar.

Tak ingin kecolongan seperti 4 tahun lalu, akhirnya selepas ngajar, sekitar jam setengah 12 siang saya langsung ke kota demi melihat seperti apa wujud pasar seni itu. Apalagi pemberitaan di sejumlah media, terutama PR, cukup besar. Semakin menambah penasaran.

Dan benar saja. Even ini ternyata menyedot perhatian begitu banyak pengunjung. Setidaknya hal itu sudah mulai terasa ketika kemacetan sudah mengular hingga di Jalan Purnawarman. Butuh sekitar 15 menit bagi saya untuk mencapai Tamansari dari Purnawarman yang jaraknya tak lebih dari setengah kilo. Entah berapa jam kalau naik mobil, karena jalanan benar-benar padat.

Saya pun terpaksa memarkirkan motor di bawah Jembatan Pasopati, karena jalanan menuju ITB sudah begitu macet. Beruntung lokasi parkirnya tepat di bawah jembatan, sehingga terlindungi dari air hujan.

Dari bawah jembatan pun lalu lalang orang-orang menuju dan dari Jalan Ganeca sudah mulai terasa. Jalan Tamansari yang biasanya tak terlalu ramai, hari itu benar-benar padat, baik oleh mobil, motor, maupun manusia.

Kepadatan semakin terasa ketika mendekati Jalan Ganeca, tempat berlangsungnya hajatan kesenian itu. Manusia dengan bermacam gaya busana tampak hilir mudik. Sebagian besar membawa kamera, entah kamera telepon maupun kamera gaya macam DLSR. Berburu momentum. Berburu suasana. Berburu cerita.

Mencintai itu mudah. Yang sulit itu saling 😐 #pasarseni2014

Foto kiriman hahn (@hahnsaja) pada

Jalan Ganeca benar-benar ditutup untuk umum. Di sini, ada beberapa karya seni yang dipamerkan entah oleh seniman mana. Di salah satu stan, ada yang sedang memahat dan mengukir, ada juga yang sedang menggambar sketsa bocah perempuan. Beberapa pengunjung tampak asyik menyaksikan pak seniman. Bergerombol.

Di pertigaan, ada seni instalasi buatan barudak UPI. Berupa mobil pickup yang di atasnya berisi kasur dan televisi. Sementara di bodi mobil ditempel bermacam-macam puisi tulisan tangan yang diperbesar.

Di stan yang menamakan diri Pemandangan ini, sang seniman menerima order karya seni. Uniknya, harganya bisa nego, tergantung ada berapa uang di kantong anda.

Siang itu, hujan baru saja usai. Jalan Ganeca pun masih tampak basah, meski matahari mulai kembali terlihat. Setelah ikut nguping wawancara kang Erwin di stan Pemandangan (oleh kang Adim), saya pun mulai masuk ke kampus.

Di sini, kumpulan manusia ternyata semakin menggila. Hampir semua karya seni yang dipamerkan dikerubungi pengunjung. Termasuk tangan raksasa yang tepat berdiri di tengah jalan dekat gerbang depan.

Beberapa pengunjung ada yang penasaran dengan galeri Semestarium di Aula Barat. Penasaran, saya pun ikut ke sana, bersama puluhan -mungkin ratusan- pengunjung lain yang berdesakan.

Sialnya. Ternyata Albar benar-benar penuh. Untuk masuk, kita harus mengantre cukup lama. Padahal untuk masuk, katanya harus bayar. Mirip seperti antrean konser musik. Rencana ke Semestarium pun gagal.

Akhirnya, saya hanya jalan-jalan mengikuti arus manusia, hingga akhirnya (setelah susah payah berdesakan) terdampar di Labtek V, tepatnya di musala. Saya lupa belum salat.

Setelah salat Dzuhur, saya istirahat di tangga Labtek menunggu hujan reda yang tiba-tiba kembali turun, kali ini cukup deras. Orang-orang pun berlarian mencari perlindungan. Entah bagaimana nasib peserta yang stannya pas-pasan, mungkin kehujanan.

Beruntung, saat melamun duduk di tangga, saya akhirnya bertemu dengan dua teman lain. Mega, wartawan Kabarkampus, dan Yatni, mantan wartawan Inilah yang kini sedang kuliah lagi di STSI. Mega datang ke pasar seni untuk liputan, sementara Yatni sedang mengerjakan tugas.

Setelah cukup lama cuma duduk-duduk saja melihat kerumunan orang yang berlalu lalang, kami bertiga sepakat mencoba masuk ke salah satu galeri, di Aula Timur. Kebetulan, saat saya ke sana jam 1 siang, masih kosong karena sedang istirahat.

Kembali berusah payah menerobos kerumunan orang -sambil kehujanan- akhirnya kami tiba juga di Altim. Dan ternyata di sini pun kondisinya sama dengan di Albar. Orang-orang penuh sesak berbaris. Antre menunggu giliran masuk galeri yang entah apa isinya.

Menariknya, tak sedikit mereka yang mengantre tak tahu ada apa saja di galeri itu. “Saya penasaran aja, tadi banyak yang antre, jadi ikut antre,” ujar salah seorang pengunjung yang ikut antre.

Sempat terpikir untuk pakai jalur cepat, mengaku wartawan dan masuk lewat jalan belakang. Tapi tak jadi dilakukan. Kami cuma sempat ngobrol sebentar sama teteh penjaga pintu keluar. Katanya, pengunjung mengantre karena harus isi buku tamu dulu.

Batal masuk ke galeri, kami akhirnya cuma jalan-jalan nggak jelas, mengikuti arus massa. Sempat mencoba ke Albar lagi dengan harapan di sana sudah kosong, ternyata sama saja. Mengantre. Bahkan untuk ke toilet pun kita harus antre. Termasuk sinyal telepon, harus antre dengan yang lain. Semua berebut sinyal yang pas-pasan.

Akhirnya, kami memutuskan mendatangi salah satu stan temannya Yatni yang berjualan produk dudukan lampu yang terbuat dari botol bekas. Dan seperti biasanya, perjuangan untuk ke stan itu cukup melelahkan.

Di stan milik kang Agus itu, kami hanya sebentar mampir. Sepertinya Mega tak jadi wawancara, hanya sempat memotret saja. Setelah dari stan kang Agus, kami memutuskan untuk pulang.

Tapi saya tak langsung pulang. Selain karena penasaran, saya datang ke Pasar Seni karena ada janji ketemuan dengan 4 orang berbeda. Tapi dari 4 janjian itu, hanya satu yang ketemu. Itu pun hanya sebentar. Itu pun sudah sore. Yang lainnya? batal gara-gara koneksi yang hancur. Mungkin karena kebanyakan orang sehingga semuanya rebutan koneksi.

Teh, jangan putus asa begitu, teh..

Foto kiriman hahn (@hahnsaja) pada

Meski semuanya harus antre (dan tak bisa melihat satu pun galeri yang ditampilkan), setidaknya dari segi pengunjung, panitia sudah berhasil. Acara yang hanya digelar sehari ini berhasil menyedot begitu banyak pengunjung.

Selamat untuk panitia. Semoga 4 tahun lagi acaranya bisa lebih panjang, lebih menarik, dan antrean tak sampai terlalu mengular. Karena kami datang ke Pasar Seni, bukan ke Pasar Antre :D.


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.