Bubur


Dongeng nu rek dicaritakeun teh kajadianana taun tujuhpuluhan, jaman ti Banjar ka Pangandaran aya keneh kareta api. Kareta api gujes tea geuning, anu jandelana marolongo teu dikacaan.

Di Stasion Banjar, memeh kareta miang, aya tukang goreng hayam nanawarkeun daganganana dina nyiru. Nyiruna ditanggeuy, ditempokeun ka jalma-jalma nu geus dariuk di jero kareta api.

“Goreng hayam! Goreng hayam!” ceuk nu dagang bari cocorowokan.

Barang nepi ka hiji jandela, ana orolo teh aya aki-aki … utah. Utahna meneran pisan kana nyiru nu pinuh ku goreng hayam. Puguh bae eta anu dagang hayam teh ambek jeung bingung.

Nyiru pinuh ku utah aki-aki teh direret ku manehna. Saterusna manehna cocorowokan deui.

“Bubur ayam! Bubur ayam!” cenah.
*dikutip dari buku Sabulangbentor jilid 2 karya kang Taufik Faturohman*

Semoga yang ngerti tulisan di atas nggak membayangkan bagaimana keadaan goreng hayam itu :D.

OK, saya pikir tulisan di atas nggak akan panjang, ternyata setelah diketik lumayan panjang. Padahal tadinya buat pengantar tentang tulisan tentang … bubur, sesuai judul blog ini, salah satu makanan favorit. Selain karena rasanya yang enak, juga karena murah.

Salah satu tukang bubur favorit adalah bubur Nugraha. Penjualnya bapak-bapak, mungkin namanya Pak Nugraha, tapi saya nggak yakin karena nggak pernah tanya siapa namanya. Dia biasa berjualan di daerah Pameungpeuk, beberapa puluh meter setelah belokan dari arah Bandung.

Ke pelanggan, mau masih muda (seperti saya) ataupun yang sudah tua suka manggil ‘beh’, mungkin kepanjangan dari babeh.

Dulu, waktu masih suka pulang dari kantor jam 10 malam, saya suka tak kebagian bubur Pak Nugraha ini. Tapi sekarang, ketika jam 6-7 malam sudah di jalan menuju rumah, saya bisa kembali bersua dengan Pak Nugraha yang murah senyum itu.

Kemarin sore saya akhirnya bisa kembali ke lapaknya. Seminggu ke belakang dia tak jualan. Katanya, dia lagi sibuk di hajatan, entah hajatan siapa. Pantas saja tiap nengok, lapak dagangannya nggak terlihat.

Lalu apa bedanya dengan bubur ayam yang lain? Sebenarnya biasa saja. Bubur khas Bandung yang biasa diaduk ketika mau dimakan hingga seperti utah yang dikeluarkan si aki di kereta tadi. Saya rasa yang sedikit membedakan adalah dari sambelnya.

Tak seperti tukang bubur kebanyakan, sambelnya seperti sambel terasi yang berwarna merah ati. Ketika dicampur dengan bubur dan lalu diaduk hingga seperti utah, maka rasanya akan lebih maknyos.

Selain bubur Nugraha, salah satu tukang bubur yang rasanya enak adalah tukang bubur yang jualan di depan kantor Samsat Kiaracondong. Biasanya tukang bubur ini jualannya malam. Dulu, waktu masih kerja di koran lama, beberapa kali saya makan di sana. Terakhir makan di sana beberapa bulan lalu *sama kamu* dan rasanya masih sama, mungkin lebih enak *karena ada kamu* *halah.

Satu lagi bubur yang enak ada di dekat perempatan Gatotsubroto arah Pindad. Dulu waktu masih kuliah dan berangkat dari kantor, saya suka sarapan di sana. Entah sekarang apakah si bapak tukang bubur masih jualan di sana atau tidak, karena sudah lama tak lewat sana pagi-pagi.

Ya sudah, karena sudah malam, mari sudahi tulisan tidak jelas ini.

Jadi, anda termasuk golongan mana? Golongan bubur diaduk atau tidak diaduk?


2 responses to “Bubur”

Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.