Membaca PR dari dekat


Buku Di Sini Cerita Kami Titipkan
Buku Di Sini Cerita Kami Titipkan

Setelah sekian lama, akhirnya saya bisa kembali menamatkan sebuah buku dalam waktu cuma 2 hari saja. Judulnya Di Sini Cerita Kami Titipkan (DSCKT), sebuah buku yang ditulis para wartawan Pikiran Rakyat (PR). Sebuah media massa kesohor di Jawa Barat.

Bukunya memang tidak terlalu tebal, tapi mengingat akhir-akhir ini kecepatan saya dalam membaca buku sangat lambat, mampu menamatkan buku setebal 238 halaman menjadi prestasi buat saya.

Bagi saya, koran PR bisa disebut tidak terlalu asing. Sejak kecil, saya sudah terbiasa membaca koran ini. Bahkan bapak sempat berlangganan PR lumayan lama, meski cuma untuk edisi minggu saja. Sementara edisi hari lain biasanya saya baca di rumah almarhum paman.

Tak hanya cuma membaca, saya pun hampir menjadi wartawan PR. Tepatnya sekitar 11 tahun lalu, ketika saya baru beberapa bulan menjadi wartawan di koran lokal Bandung Ekspres.

Hanya saja saat itu, saya gagal di tahap paling akhir: Tes kesehatan. Tahap yang bagi sebagian orang hanya formalitas belaka. Padahal beberapa atasan saya sudah tahu bahwa saya akan pindah kantor. Tapi mungkin bukan rezekinya, atau bisa jadi saya memang tidak sehat. Duh.

Saat itu (mungkin saat ini juga sama) , bekerja sebagai wartawan koran terbesar di Jawa Barat menjadi kebanggaan diri bagi wartawan di Bandung. Koran yang menjadi kiblat dan tolok ukur bagi media lain. Tak apa-apalah ketinggalan isu dari koran lain asal jangan dari PR.

Meski tak jadi anak buah Mang Ohle, koran PR tetap terasa dekat dengan saya. Setidaknya, hampir setiap hari saya baca PR di kantor, dan kadang berjumpa dengan wartawannya di lapangan.

Setelah tidak lagi menjadi wartawan sejak akhir 2016 silam, kegiatan membaca koran perlahan mulai berkurang, termasuk koran PR. Hal ini karena di kantor baru, perusahaan tidak berlangganan koran. Pasokan informasi praktis lebih banyak dari media daring. Sesekali buka koran hanya di akhir pekan, ketika di pesantren.

Membaca buku DSCKT seakan kembali mendekatkan saya dengan koran ini. Juga kembali mengingatkan ketika saya masih jadi wartawan. Tulisannya tidak hanya pengalaman para penulis, namun sedikit membuka dapur PR. Bagaimana manajemen yang dinilai kurang mengantisipasi perkembangan teknologi internet dan terutama perkembangan media online. Padahal PR merupakan salah satu media pertama yang memiliki website sendiri!

Hal ini berimbas ke hal lain, terutama dalam hal keuangan. Bagi saya ini cukup mengagetkan mengingat PR selama ini dikenal sebagai salah satu media besar di Jawa Barat.

Kondisi yang dialami PR sepertinya dialami oleh media lain, terutama media cetak yang mulai perlahan ditinggalkan pembacanya. Kondisi serupa yang saya sering rasakan ketika masih menjadi awak redaksi sebuah media lokal Bandung.

Bagaimana kondisi media cetak yang semakin ketinggalan dari media online, baik dari segi isu maupun kualitas tulisan. Juga bagaimana ripuhnya perusahaan menghadapi persaingan ketat antarmedia, sementara kue iklan di segmen media cetak semakin kecil karena mulai banyak yang beralih ke media online, atau malah ke media sosial.

Meski saat itu posisi saya hanya sebagai redaktur online, saya cukup sering mengikuti rapat di luar redaksi. Di rapat-rapat itu – terutama ketika rapat dengan manajemen atau bos besar – kadang ditunjukkan bagaimana kondisi keuangan perusahaan yang harus pontang-panting mencari uang untuk sekadar agar karyawannya masih bisa gajian dengan tepat waktu.

Saya tidak tahu apakah di media online pun kondisinya demikian. Dari sekilas informasi maupun gosip yang kadang beredar ada di beberapa grup, secara umum kondisi media -terutama cetak- saat ini memang sedang tidak baik-baik saja.

Semoga saja ada jalan keluar untuk masalah ini. Karena bagaimana pun, logika tidak akan jalan tanpa logistik. Jika hal ini terus terjadi, jargon media sebagai pilar keempat demokrasi akan semakin berat dipikul.

Tabik.


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.