Tahun baru rumah baru


Sandang, pangan, dan papan adalah tiga hal dasar yang harus dimiliki manusia. Yang jadi masalah adalah, semakin ke sini, harga papan alias tempat tinggal semakin tidak masuk akal. Karena itulah, memiliki rumah pribadi selama ini hanya menjadi angan-angan belaka.

Sekitar 10-11 tahun lalu, ketika ada teman yang membeli rumah KPR di kawasan Bandung agak utara, uang muka yang harus mereka keluarkan sekitar Rp60 juta. Wow itu uang yang sangat besar, bahkan untuk ukuran sekarang. Apalagi saat itu gaji saya masih sebatas UMR Kota Bandung, sekitar 2,5-3 jutaan. Artinya jika saya ingin nabung untuk DP saja saat itu, butuh waktu 20 bulan untuk bisa terkumpul uang Rp60 juta. Itu pun dengan catatan selama nabung itu saya tidak makan-minum dari uang gaji. Hil yang mustahal.

Beberapa kali bermimpi ingin punya rumah di kota, minimal dekat dengan pusat kota Bandung meski lokasinya masih di kabupaten. Tapi ya itu, harga rumah semakin tidak terjangkau. Kenaikan harga rumah tidak sebanding dengan kenaikan gaji yang masih di ambang UMR. Akhirnya, sampai mau nikah, saya masih belum punya tabungan untuk sekadar bayar DP, boro-boro beli rumah.

Beruntung setelah menikah dan pindah kerjaan ke kantor yang sekarang, saya mulai bisa nabung agak banyak. Tapi harga rumah semakin meroket, bak peribahasa Sunda “sawan kuya”, bisa naik, tapi tidak bisa turun. Akibatnya, sejak pertama nikah, kami hanya mampu ngontrak rumah. Bahkan di 2 tahun pertama nikah, kami hanya mampu ngontrak di kos-kosan.

Saat masih ngontrak, kami sempat mau beli rumah tetangga yang ukurannya cukup luas dengan harga yang tidak murah tapi tidak tinggi-tinggi amat. Tapi masalahnya, rumah itu adanya di dalam gang, jalannya tidak masuk mobil. Dengan kondisi sekarang di mana bank tidak mau mengucurkan uang KPR untuk rumah di dalam gang, sulit bagi saya untuk membeli rumah tersebut.

Sempat ada bank yang bersedia membayarkan rumah tersebut dengan skema KPR syariah, tapi setelah lihat harga jual dari bank yang sampai lebih dari 2 kali lipat dari harga awal, kami akhirnya mundur. Meski syariah, saya pikir harga yang diajukan bank tidak masuk akal dan malah memberatkan debitur.

Uang yang tadinya untuk DP itu akhirnya dibelikan tanah kosong dekat rumah. Kebetulan ada sodara yang berniat menjual tanah tersebut. Meski awalnya tidak minat, akhirnya setelah diskusi dengan istri dan orangtua, tanah tersebut kami beli.

Saat beli lahan tersebut, kami belum punya pikiran untuk bikin rumah di sana. Salah satu pertimbangannya adalah karena lokasinya cukup jauh dari jalan besar. Meski begitu, sempat ada rencana untuk bikin rumah di sana, jaga-jaga kami tidak menemukan rumah yang cocok.

Memasuki 2023, keinginan untuk punya rumah semakin membuncah. Apalagi setelah tinggal di rumah orangtua sejak sewa kontrakan berakhir Juni 2022. Ya, setelah pun bapak meninggal, kami memutuskan tidak meneruskan ngontrak rumah yang lokasinya di seberang rumah orangtua.

Proses mencari rumah yang dirasa cocok ternyata tidak mudah. Sejak setelah Lebaran 2023, kami mulai lebih serius mencari rumah di sekitar Banjaran. Beberapa kali kami datangi lokasi rumah yang hendak dijual. kalau tidak salah, kami sempat mendatangi tiga rumah bekas yang hendak dijual.

Ada yang relatif murah (sekitar 100 jutaan saja), eh pas dilihat rumahnya sudah rusak berat, dengan luasan yang cukup sempit. Rumah kedua harganya sekitar 300 jutaan, tapi yang ini pun tidak terlalu sreg karena faktor lokasi dan kualitas rumah yang lumayan harus banyak direnovasi. Sementara rumah terakhir dari segi lokasi sudah sangat cocok, tapi harganya luar biasa mahal buat kantong kami. Selain itu, kami harus menyiapkan uang cash sekitar Rp250 jutaan, ditambah berapa ratus juta lain untuk DP dan beberapa tahun cicilan yang harus dilunasi. Kalau dihitung-hitung, harganya menjadi sangat mahal. Tidak worth it.

Tak hanya berburu rumah bekas, beberapa proyek perumahan yang sedang dibangun pun tak luput kami survey. Ada yang secara lokasi sudah cocok, eh stok rumah yang diincar sudah habis. Ada juga yang stoknya masih ada, tapi dari segi lokasi cukup jauh, di samping harganya yang lumayan mahal. Ada juga yang lokasinya cukup dekat dengan pusat keramaian, tapi dilihat dari kualitas bangunan tidak terlalu bagus. Apalagi sampai sekarang saya lihat jalan perumahannya masih berbentuk tanah berbatu.

Saat dalam masa perburuan rumah ini, kakak saya kasih kabar bahwa di dekat rumahnya ada perumahan baru yang sedang dibangun. Dari segi lokasi tidak telalu terpencil dan juga lumayan ramai. Setelah lihat brosurnya, kami pun mulai survey ke lokasi dan tanya-tanya ke pekerja di sana. Kami pun mulai menghubungi marketing perumahan tersebut untuk mendapatkan info detailnya.

Singkat cerita, setelah berdiskusi panjang dengan istri, orangtua, mertua, dan juga dengan kakak, akhirnya kami putuskan untuk membeli rumah di lokasi tersebut. Awalnya kami ingin beli rumah yang letaknya di paling ujung, namun karena di lokasi itu kami harus beli tanah sisa di sisi rumah, dan harganya lumayan mahal, akhirnya kami pilih lahan di sebelahnya.

Tapi… beli rumah itu ternyata tidak seperti beli cireng. Ada banyak tahap yang harus dilalui, dengan berbagai dokumen yang harus disediakan. Mulai dari slip gaji, rekening koran, surat keterangan dari kantor dsb. Selama beberapa bulan kami menyiapkan dokumen tersebut, dan tidak jarang harus bolak-balik revisi, karena ternyata syarat untuk KPR itu lumayan ribet.

Nah mengenai KPR ini pun ternyata punya kerumitan tersendiri. Ternyata untuk mengajukan KPR ke bank itu tidak bisa sembarangan. Bahkan bank besar seperti BCA hanya menerima pengajuan KPR dari perumahan yang sudah terbukti punya track record bagus. Begitu pun dengan bank syariah, tidak begitu saja menerima pengajuan KPR. Dari informasi teman yang bekerja di salah satu bank syariah, pihak bank biasanya hanya menyalurkan KPR ke developer yang sudah bekerja sama. Hmmmm..

Beruntung setelah mengajukan KPR ke beberapa bank, ada satu bank yang menerima pengajuan KPR kami. Maka di bulan Agustus 2023, kami akhirnya menandatangani akad KPR di hadapan notaris. Yeah, akhirnya saya harus mencicil angsuran hingga Agustus 2033 😀

Tapi.. sekali lagi tapi.. meski sudah akad, kami belum bisa pindah karena rumahnya memang belum selesai. Saat itu developer menjanjikan rumah akan selesai di bulan Oktober. Tapi setelah memasuki Oktober, kami masih belum bisa pindah karena masih ada beberapa hal yang belum selesai. Karena itu, sambil menunggu rumah selesai, kami mulai berburu perlengkapan rumah.

Akhirnya, di bulan Desember hampir semua hal sudah beres. Selain bangunan rumah yang memang sudah selesai sejak November, beberapa hal penting seperti air pun sudah selesai. Untuk air ini, kami menggunakan PDAM. Karena banyak informasi tidak mengenakan tentang air PAM, kami akhirnya pasang dua toren. Satu toren ditanam untuk menampung air PAM yang tidak selalu mengalir setiap saat, satu lagi disimpan di atas. Kami berharap, setidaknya ketika air dari PAM seret, masih ada stok air di toren.

Masalah terakhir adalah internet. Sebagai buruh yang masih bisa bekerja dari rumah alias WFH, internet menjadi salah satu kebutuhan primer. Makanya, sejak November saya sudah coba daftar pasang Indihome. Hanya saja, dari hasil survey ternyata kami terkendala dengan tidak adanya tiang di dalam perumahan. Setelah berdiskusi dengan pihak perumahan, eh ternyata masalah baru muncul: jaringan di daerah tersebut sudah habis. Halah.

Tapi berhubung serah terima kunci sudah dilakukan sejak November yang artinya argo asuransi dari developer sudah jalan, mau tidak mau akhirnya kami pindah juga. Tepatnya di tanggal 16 Desember 2023, kami mulai menempati rumah mungil ini. Semoga kami betah tinggal di sini, dan terutama mampu membayar cicilannya.

Tabik.


Ada komentar?

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.